This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 04 Agustus 2009

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA(Kajian terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)

Hukum acara pidana sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam proses peradilan lahir pada 23 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 31 desember 1981. saat itu masyarakat dan semua kalangan menyambutnya dengan suka cita karena KUHAP dianggap sebagai karya agung yang menjunjung tinggi dan menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perlindungan terhadap Harkat dan martabat manusia sebagaimana layaknya yang dimiliki oleh suatu negara yang berdasarkan atas hukum. tentunya dengan lahirnya KUHAP banyak sekali harapan yang timbul dari berbagai kalangan.

Setelah beberapa tahun dilaksanakan tentunya akan timbul pertanyaan mengenai praktek pelaksaan KUHAP dewasa ini, apakah penegakan hukum melalui system peradilan pidana sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku/ dan adakah jaminan perlindungan hukum terhadap setiap orang yang memasuki system peradilan pidana mulai dari kepolisian, kejaksaan , pengadilan maupun di lembaga pemasyarakatan?
Hak asasi manusia merupakan keinsyafan terhadap harga diri , harkat dan martabat kemanusiaan yang menjadi kodrat sejak manusia lahir dimujka bumi. Sejarah hak asasi manusia bersamaan dengan sejarah lahirnya manusia yang timbul dan tenggelam sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertainya
Siapa sebenarnya yang menetapkan bahwa manusia itu dilahirkan dengan martabat yang sama yakni bahwa manusia mamiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan hak-hak lain yang dikemukakan sebagai hak dasar manusia? Apakah oleh raja, penguasa atau pemerintah?, sudah barang tentu hak asasi manusia timbul bukan karena diberi oleh manusia yang lain tetapi hak dasar tersebut melekat pada manusia sebagai karunia dari penciptanya, oleh karena itu disebut sebagai hak asasi.

Negara indonesia sebagai negara hukum tidak ketinggalan dalam merumuskan hak asasi manusia kedalam peraturan perundang-undangannya, yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam konsideran, aturan umum dan penjelasan nya terutama mengenai ketentuan agar petugas menjalankan hukum sekaligus menjunjung hak asasi manusia .

KUHAP sebagai realisasi Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman merumuskan aturannya dengan bersandar pada hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana seperti hak dari tindakan penuntutan, pembelaan, pemeriksaan pengadilan maupun perlakuan terhadap tersangka/terdakwa
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali oleh karena sebagian besar dari rangkaian proses hukum acara pidana menjurus pada pembatasan-pembatasan hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan penggeledahan, penyitaan dan penghukuman, yang pada hakekatnya adalah pembatasan hak asasi manusia.
Proses peradilan pidana yang merupakan proses bekerjanya organisasi-organisasi seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan , menggunakan model penyelenggaran dan pengelolaan peradilan menurut system yang dikenal dengan approach system yaitu penanganan secara sistemik terhadap administrasi peradilan. Adapun mengenai hal pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing organisasi tersebut yakni dengan perisip differensial fungsional, hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari adanya tumpang tindih diantara organisasi-organisasi tersebut oleh karenanya dilakukanlah pembagian tugas dan wewenang yang jelas.

Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan empat komponen dalam system peradilan pidana yang mana antar komponen-komponen tersebut menjalin hubungan kerja sama yang disebut sebagai Intergrated criminan justice system. Keempat komponan tersebut diharapkan dapat mencapai suatu tujuan yakni:

- mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
- menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi , sehingga masyarakat merasa pias bahwa keadilan telah ditegakkan
- mengusahakan agar mereka yang melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

Dalam pengelolaan system peradilan pidana secara sistemik akan diselenggarakan secara terpadu, dimulai dari adanya kasus kejahatan yang terjadi baik yang dilaporkan dari masyarakat maupun yang diketahui sendiri oleh aparat yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan serangkaian tindakan terhadap tersangka seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan samapai dengan dibuatanya BAP/ berita acara pemeriksaan yang kemudian diserahkan kepada pihak kejaksaan sebagai penuntut umum dan kemudian BAP tersebut jika sudah lengkap diserahkan kepengadilan.untuk dilakukan pemeriksaan dan diputus oleh hakim dengan putusan bebas, atau putusan lepas atau putusan pidana.

Dalam proses yang disebutkan diatas , disatu pihak aparat penegak hukum oleh undang-undang diberi wewenang atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan tugasnya, namun dipihak lain hak-hak tersangka ataupun terdakwah harus pula diperhatikan, oleh karenanya undang-undang mengatur tentang tatacara yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan harkat dan martabat manusia. Beberapa asas yang terkandung dalam KUHAP dapat dijadikan indicator apakah pelaksanaan penegakan hukum sudah benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan serta bagaimanakah sikap tindak dari para aparat penegaknya. Maka terkait dengan hal tersebut , setidaknya didalam KUHAP terdapat lima pilar penting yang perlu dikaji yakni:
a. Perlakuan yang sama dihadapan hukum
Asas ini mengandung arti bahwa setiap orang yang berurusan dengan proses peradilan pidana memeliki hak untuk diperlakukan sama tanpa ada perbedaan, Kaya atau miskin, pria wanita, hitam putih, normal ataupun tidak normal dan lain sebagainya dan semua perbedaan tersebut tidak dapat mendasari perbedaan dalam hal hak asasi manusia.
KUHAP yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai karya agung yang mana isinya sarat dengan muatan hak asasi manusia, hanyalah berbentuk peraturan yang tak bernyawa yang keagungannya baru bisa dibuktikan dari bagaimana konkritnya penerapan pasal-pasal yang ada didalamnya, hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “hukum tidak saja terwujud dalam peraturan tetapi juga bagaimana prakteknya”. Namun seagung apapun suatu karya baik yang berbentuk undang-undang seperti misalnya KUHAP disadari atau tidak didalamnya tetap mengandung hal-hal yang bersifat diskriminatif bahkan sejak yang namanya keadilan ditata oleh yang namanya hukum maka saat itulah dimulailah diskriminasi, karena hukum mengejar suatu keumuman atau uniformitas sedangkan didalam masyarakat terdapat berbagai kesenjangan dan perbedaan .
Hukum tak terkecuali KUHAP didalam pasal-pasalnya memang tidak mengenal perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, tetapi dalam kenyataan social perbedaan derajat manusia selalu ada dan sedikit banyak ikut mempengaruhi praktek pelaksanaan hukum, tak terkecuali praktek pelaksaan KUHAP
Dalam praktek pelaksanaan KUHAP sering dijumpai perbedaan perlakuan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan , pemeriksaan disidang pengadilan maupun dilembaga pemasyarakatan. Sering terlihat bahwa orang yang memilki kekuasaan, uang dan kedudukan seolah-olah kebal terhadap hukum dan sering tidak terjaring oleh aturan hukum yang ada sedangkan masyarakat yang lemah kadangkala diperlakukan sewenang-wenang dan tidak pernah lepas dari jarring-jaring hukum yang ada dan sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang kaya dan mampu akan memperoleh perlakuan yang lebih baik oleh para aparat dibandingkan dengan mereka yang tidak mampu. dari uraian tersebut dapatlah ditarik benang merah bahwa bagaimanapun hukum itu selalu diskriminatif
b. Penangkapan dan penahanan
Pasal 9 deklarasi umum Hak asasi Manusia menentukan bahwa “tiada seorangpun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang secara sewenang-wenang”, ketentuan tersebut sejalan denngan ketentuan yang diatur dalam pasal 9 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa tiada seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan selain atas perintah tertulis atas kekuasaan yang sah dalam hal yang menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang, yang mana ketentuan tersebut dijabarkan kembali didalam KUHAP.
Penangkapan dan penahanan merupakan tugas polisi dengan harapan akan tercapai dan terpelihara suatu ketertiban.dalam kerangka hukum yang berlaku. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah dengan cara bagaimakah hal tersebut dicapai? Ternyata tugs dan pekerjaan polisi hanya dapat dilakukan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu, dan salah satu pembatasan tersebut adalah hukum., sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku yang man tindakan-tindakan yang dilakukan oleh polisi memiliki tujuan-tujuan social tersndiri yang tidak selalu sama dengan tujuan hukum.
Anatomi dari tujuan hukum itu akan memperlihatkan bahwa disamping mempunyai tujuan social, hukum juga memilki tujuan khas yaitu sebagaimana yang tertera secara positif dalam peraturannya. Oleh karenanya sering menjadi dilemma bagi polisi dalam melakukan suatu tindakan, disatu pihak polisi harus menjaga ketertiban namun dipihak lain polisi juga harus melakukan tindakan itu dalam kerangka hukum yang berlaku.
Hukum merupakan lambang dari kepastian sedangkan ketertiban tidak memperhatikan apakah hukum sudah dijalankan atau belum. Dalam suasana hukum darurat ketertiban bisa dipertahankan tetapi jelas pada saat itu banyak peraturan hukum yang dikesampingkan sehingga hal ini mengabaikan tuntutan kepastian hukum . sebagai contoh misalnya tindakan penangkapan dan penahanan yang hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis dari pejabat yang berwenang oleh UU dan dengan cara yang diatur oleh UU . dalam prakteknya terutama terhadap kasus tertentu yang sangat membutuhkan ketertiban, melaksanakan ketentuan UU yang demikian itu sangat sulit bagi polisi. Disinilah dilemma yang harus dihadapi oleh polisi yaitu mencari titik-titik pilihan antara hukum dan ketertiban, pada saat polisi harus ,menentukan pilihan yang demikian itu, kita akan berhadapan dengan masalah diskresi yang dilakukan oleh polisi. Yang pada hakekatnya bertentangan dengan prinsip negara yang didasarkan pada hukum .
c. Asas praduga tak bersalah
Pada prinsipnya bahwa asas ini menekankan bahwa setiap orang berhak dianggap tidak bersalah sebelum seseorang tersebut terbukti secara syah dan meyakinkan atas kesalahan yang dilakukan yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Konsekuensi logis dari asas ini adalah seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana, wajib mendapatkan perlindungan hukum berupa perlakuan yang sesuai dengan ketentuan UU. Namun dalam prakteknya hal tersebut sering sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh aparat penegak hukum karena sering sekali terjadi dalam penyidikan oleh aparat terhadap tersangka dilakukan dengan disertai ancaman, tekanan, paksaan bahkan tidak jarang dengan penganiayaan dimana seolah-olah sitersangka sudah benar-benar terbukti melakukan perbuatn pidana yang dituduhkan, padahal dalam hal ini belum ada p[utusan dari hakim yang telah final.
d. Hak memperoleh bantuan hukum
Terdapat beberapa alasan mengapa bantuan hukum ini perlu diberikan pada tersangka dan terdakwah yakni:
Alasan pertama bahwa kedudukan tersangka dan terdakwa tidak seimbang dengan kedudukan aparat
Alasan kedua bahwa tidak semua orang mengetahui apalagi memahami seluk beluk aturan hukum yang rumit
Alasan ketiga yakni faktor kejiwaan dan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi dalam hal memperjuangkan hak-haknya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Alasan keempat bahwa hakim yang memberikan putusan adalah manusia biasa demikian pula polisi maupun jaksa sehingga dalam hal ini penasehat hukum diperlukan sebagai pihak pengontrol .
Secara sosiologis peranan penasehat hukum disamping sebagai penjaga atau pengawal kekuasaan pengadilan juga berperan sebagai seseorang yang dimintai bantuan.
Penasehat hukum dalam peranannya adalah dalam posisi berhadapan dengan pengadilan dan memiliki kedudukan yang otonom dan tidak tergantung serta bertujuan untuk mempertahankan hak –hak klien.
Berdasarkan keempat alasan tersebut diatas dapat disimpulakan bahwa keberadaan penasehat hukum untuk mendampingi tesangka dan terdakwah sangat dibutuhkan, namun dalam prakteknya hak tersebut sering dilanggar , penassehat hukum yang dibolehkan mendampingi tersangka pada tahap penyidikan pada kenyataannya tidak pernah terhjadi hal ini karena UU sendiri tidak pernah mengatur secara lebih lanjut apakah penyidik dalam melakukan penyidikan harus memberitahukan penasehat hukum
e. Hak meenuntut gantirugi dan rehabilitasi
Adanya asas ini mempertegas apa yang dicantumkan dalam pertimbangan UU No. 8 tahun 1981 bahwa “ negara republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila dan UUD 1945 .. dan bahwa pembangunan nasional dibidang hukum acara pidana adalah untuk meningkatkan pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum dan keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Hak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi ini sebenarnya mengandung 2 asas yakni hak warga negara untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi serta kewajiban pejabat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan prilakubya selama proses pre-ajudikasi. Dalam kedua asas juga terkandung suatu prinsip bahwa negara dapat pula dimintai pertanggungjawaban atas sgala tindakan yang dilakukan terhadap warga negaranya
Kemungkinan untuk menuntut ganti rugi dalam proses pidana meliputi 3 hal yaitu :
a.Ganti kerugian karena penangkapan atau penahanan atau penuntutan yang tidak syah
b.Ganti kerugian setelah herziening
c.Ganti kerugian oleh korban pelanggaran hukum yang bukan oleh negara
Didalam KUHAP ketiga jenis ganti kerugian diatas telah tercantum akan tetapi tidak diatur lebih lanjut menganai bagaimana dan sejauh mana tuntutan ganti kerugian dapat dikabulkan kecuali pada jenis ganti kerugian pada butir c yang hal ini diatur dalam pasal 98-101 KUHAP tentang penggabungan perkara ganti kerugian , apakah permasalahan ini telah terlupakan oleh pembuat KUHAP atau sengaja dilupakan atau memang sengaja untuk memberikan kebebasan kepada kebijaksanaan hakim, itu semua masih kurang jelas.sehingga dalam hal inilah sering sekali terjadi pelanggaran terhadap hak asasi seseorang .
Kesimpulan
Penegakan hukum melalui system peradilan pidana di Indonesia , masih perlu pembenahan identitas.Penegakan hukum yang terkandung didalam KUHAP yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia ternyata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh para aparat penegak hukum kita. Disatu pihak aparat penegak hukum diberi wewenang dan kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu menurut hukum , namun kekuasaan dan wewenang itu sering disalahgunakan. Akibatnya pengadilan kita sering dijadikan sebagai benteng keropos bukannya benteng terahir bagi para pencari keadilan.
Perlakuan yang sama terhadap seseorang dimuka hukum dalam praktek tidak dapat dipenuhi sepenuhnya. Masih adanya perbedaan perlakuan antara pencari keadilan yang satu dengan yang lainnya karena adanya perbedaan kedudukan social, ekonomi dan politik yang melekat pada orang tersebut. Demikian juga masalah penangkapan dan penahanan yang tidak disertai surat perintah yang sesungguhnya dapat berakibat pada penangkapan dan penahanan yang tidak sah . dan mengenai asas praduga tak bersalah nyatanya dalam praktek masih sering terjadinya adanya penyimpangan oleh oknum aparat penyidik.


DAFTAR PUSTAKA

Bambang poernomo, Pokok-pokok Tata cara Peradilan Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986.
Djoko Prakoso, Kedudukan Justiciable didalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta 1994
Satjipto Rahardjo, Hukum Masyarakat dan pembangunan , Alumni, Bandung, 1976.
-------------------, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru ,Bandung
------------------, Simposium Penegakan Hukum , bina Cipta Jakarta, 1982.

Rabu, 29 Juli 2009

Konsepsi Hukum Islam tentang zina dan Eksistensinya dalam Rancangan KUHP

Konsepsi Hukum Islam tentang zina dan Eksistensinya dalam Rancangan KUHP

A. LATAR BELAKANG
Di Indonesia dewasa ini sedang berlangsung usaha untuk memperbaharui Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) sebagai bagian dari usaha pembaharuan hukum nasional yang menyeluruh.
Pada masa lalu, apabila berfikir mengenai alasan pembaharuan hukum pidana maka yang terfikirkan adalah hanya berkisar pada alasan politis bahwa hal ini merupakan kebanggaan nasional bagi bangsa kita karena telah memiliki KUHP nasional sendiri, alasan sosiologis yakni alasan yang merupakan tuntutan dari masyarakat untuk memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional dan alasan praktis yakni mengenai adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia. Namun dari kajiaan yang koprehensif terdapat pula alasan-alasan lain yang tidak kalah pentingnya yakni alasan adaptif bahwa KUHP Nasional dimasa-masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab
Atas dasar alasan-alasan tersebut, maka pembaharuan hukum itu merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi
Salah satu implikasi dari pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah bahwa perumusan ketentuan dalam KUHP itu merupakan produk kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak perumusannya mendekati kesadaran hukum masyarakat, artinya perumusan hukum baru itu jangan sampai semata-mata merupakan produk kesadaran hukum barat sebagaimana tampil dalam kenyataan KUHP yang saat ini masih berlaku yang merupakan warisan penjajah Belanda.
Dalam kenyataannya saat ini telah berkembang berbagai sitem hukum pada saat yang bersamaan, dimana kehidupan hukum di negara kita ini merupakan gabungan dari berbagai macam system hukum tersebut baik yang berasal dari Hukum Adat, maupun Hukum Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Maka mau tidak mau usaha pada pembaharuan KUHP mendatang haruslah dilengkapi dengan kegiatan studi dari berbagai sumber tersebut, artinya bahwa pembaharuan ketentuan khususnya mengenai bentuk pidana sumber perumusannya diambil dari sumber kehidupan hukum di Indonesia seperti hukum adat, hukum Islam maupun hukum barat serta sumber lainnya sehingga segala ketentuan mengenai bentuk maupun jenis tindak pidana harus mempertimbangkan sumber-sumber tersebut.
Atas dasar pendangan tersebut dilaksanakan perubahan dan penyempurnaan terhadap pasal-pasal yang ada didalam KUHP, salah satunya adalah terhadap pasal 284 mengenai tindak pidana zina.
Konsep perbuatan zina didalam pasal 284 KUHP dijelaskan bahwa perbuatan zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan atas dasar suka sama suka, yang mana salah satu atau keduanya telah menikah. Sebagaimana diketahui bahwa dasar pembuatan KUHP (Wvs) terdahulu adalah berorientasi pada pandangan barat yang Individualistik-liberalistik dan menjunjung tinggi hak-hak kebebasan individu ( termasuk dibidang hubungan seksual / moral), pandangan barat berpendapat bahwa sepanjang hubungan seksual tersebut dilakukan dengan bebas dan tanpa paksaan maka hal demikian masih dipandang wajar dan tidak tercela.
Dalam perkembangannya, didalam Konsep KUHP telah merumuskan mengenai tindak pidana perzinahan yaitu dalam pasal 484 sampai 488 .Di dalamnya disebutkan bahwa tindak pidana perzinahan ini tidak lagi mensyaratkan bahwa pria atau wanita yang melakukan perbuatan zinah sudah terikat dalam perkawinan tetapi jika perseubuhan dilakukan oleh pria dan wanita diluar perkawinan atas dasar suka sama suka maka sudah dapat dikatakan sebagai Tindak pidana Zina
Atas dasar pandangan yang telah diuraikan, maka penulis akan berusaha mengkaji dan menganalisa mengenai : “Konsepsi Hukum Islam tentang zina dan Eksistensinya dalam Rancangan KUHP”

B. RUMUSAN MASALAHAN

Mendasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka akan diangkat beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Konsepsi Hukum Islam mengenai masalah Zina ?
2. Bagaimanakah Eksitensi Nilai-nilai Hukum Islam Tentang zina dalam KUHP mendatang?
3. Bagaimakah penjabaran Hukum Islam Dalam Rancangan KUHP mendatang terkait dengan Tindak Pidana zina?


KERANGKA TEORI
1. Pendekatan dan Metode Kriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri, yang merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesiayaitu artinya bahwa pembaharuan hukum pidana harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan berbagai aspek dan kabijakan yang melatarbelakanginya.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya dapat ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada nilai (Value Oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (Policy Oriented approach).
Policy Oriented approach atau pendekatan yang berorientasi pada kebijkan ini dilakukan dalam pembaharuan hukum pidana karena pada hakikatnya hal ini hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum, politik kriminal, dan politik penegakan hukum)
Pendekatan kebijakan lebih bersifat rasional . seperti yang dikemukakan oleh Sudarto bahwa “dalam melaksanakan politik, orang akan mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi “. Artinya bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar, dalam menanggulangi kejahatan dengan memperhitungkan semua faktor-faktor yang mendukung bekerjanya hukum pidana tersebut dalam kenyataannya,
Berdasarkan pandangan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa dalam disiplin hukum pidana bukan hanya bersifat pragmatis dan rasional, tetapi juga merupakan suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (Not only pragmatic but also value based and value oriented) .
Value Oriented approach pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai- nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio cultural yang melandasi dan memberikan isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan
Kriminalisasi suatu perbuatan adalah wajar begitu pula sebaliknya terhadap dekriminalisasi, dan Ukuran untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan tergantung dari nilai-nilai dan pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, apa yang benar, apa yang bermanfaat atau sebaliknya. Jadi pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan agama sangat berpengaruh dalam proses pembentukan hukum, khususnya hukum pidana
Sehubungan dengan hal tersebut beberapa pakar hukum mengemukakan beberapa pendapat mereka mengenai pentingnya suatu pendekatan nilai dalam kebijakan hukum pidana, Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya , bahwa :
“ Keharusan rasionalitas itu bukanlah berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan etis dalam hukum pidana dapat ditinggalkan, karena syarat rasional adalah syarat moral, jadi rasionalitas jangan sampai dikaburkan oleh pertimbangan yang bersifat etis. Batas-batas yang bersifat etis itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan. Didalam batas-batas dari apa yang secara etis dapat diterima haruslah diambil keputusan yang rasional itu “

Mc. Grath W.T, berpendapat :
“ Rational consideration must be partnered by moral considerations in criminal justice”

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, karena seperti yang dikemukakan oleh Cristiansen, bahwa “ The Conception of problem crime and punishment is an essential part of culture af any society “, begitu pula menurut W. Clifford bahwa “ The very foundation of any criminal justice system consists of the philoshophy behind a given country”
Selain dari pada itu, mengenai pendekatan yang berorientasi pada nilai ini, terdapat beberapa rujukan yang dihasilkan melalui beberapa seminar hukum dan symposium nasional, yang didalamnya menjelaskan bahwa hukum adat dan hukum agama sebagai nilai-nilai yang hidup dalam msyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan, yang diantaranya:
a) Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional Ke-1 Tahun 1963

b) Seminar Hukum Nasional IV/1979

2. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia
Hukum islam memiliki dua dimensi yang terkandung yaitu dimensi abstrak dan konkret. Wujud dari dimensi abstrak adalah segala perintah dan larangan allah serta rasulnya dan dimensi konkret wujudnya adalah tingkah laku manusia. Bukan hanya itu saja di dalam hukum islam juga kaya akan substansi yang berinternalisasi dan terinstitusionalisasi dalam berbagai pranata social dikehidupan masyarakat islam dan masyarakat indonesia oleh karena itu hukum islam kini menjadi hukum yang hidup dan berkembang dan berlaku serta dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia disamping undang-undang tertulis
Dalam perkembangan dan pengkajian hukum islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang menjadi landasana berlakunya hukum islam di Indonesia. Adapun teori-teori tersebut diantaranya adalah:
a. Teori ajaran islam tentang hukum islam
Dari teori ini tersirat bahwa islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk berhukum pada hukum islam seperti yang disebutkan dalam firman allah (1:5 ) yang didalamnya menggambarkan permohonan bagi orang islam untuk berjalan dijalan yang lurus termasuk dibidang hukum.
b. Teori penerimaan authoritas hukum
Teori ini telah disepakati oleh seluruh imam dalam mazhab hukum islam dimana didalamnya menegaskan bahwa siapapun yang telah menyatakan dirinya sebagai orang islam/muslim dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat maka ia akan terikat dan patuh serta taat kepada hukum dan ajaran islam. artinya Secara sosiologis , orang-orang yang sudah beragama islam menerima outoritas hukum islam yaitu taat kepada hukum islam.
c. Teori Receptie In Complexiu/ penerimaan hukum islam sepenuhnya
Teori ini dikemukakan oleh prof. Mr.Loedewijk Willm Cristian Van Den Berg (1845-1927), yang menyatakan bahwa bagi orang islam sepenuhnya berllaku penuh hukum islam karena ia telah memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini muncul pada tanggal 25 mei 1876 yang oleh belanda dituangkan dalam bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering yang pada tahun 1885nya oleh belanda kembali diberikan dasar hukumnya dalam Regering Regelement
d. Teori Receptie / penerimaan hukum islam oleh hukum adat
Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum islam berlaku apabila diterima dan dikehendaki oleh hukum adat . dengan kata lain teori ini menegaskan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum islam berlaku jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat
Teori ini dikemukakan oleh Prof.Cristian Snouck Hurgronye yang kemudian dikembangkan oleh Van vollen hoven dan Teer Har.
e. Teori Receptie A Contrario
Teori Receptie a Contrario secara harfiah merupakan lawan dari teori Receptie dimana Menurut teori Receptie a Contrario bahwa hukum adat berlaku bagi setiap orang islam bila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum islam. Teori ini dipopulerkan oleh Prof hazairin yang kemudian dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib
Dari penjelasan di atas maka jelaslah terlihat mengenai sejarah dan dasar teori berlakunya hukum islam di Indonesia yang sampai saat ini keberadaan hukum islam itu sendiri masih tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dan hukum islam secara positif efrecthelijk maupun kenyataan social merupakan salah satu system hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia disamping hukum adat .
Terkait dengan berlakunya hukum islam di Indonesia secara formall apabila kita cermati dalam perundang-undangan di Indonesia , terdapat 3 pilar UU bagi berlakunya hukum islam di Indonesia yaitu :
(a) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok kekuasaan kehakiman
(b) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(c) UU No.7 tahun 1989 Tentang Pengadilan agama
Pada era reformasi ini pula terdapat beberapa kebijakan-kebijakan yang didalamnya mengakui adanya hukum islam di Indonesia, dimana kebijkan tersebut dapat terlihat dalam TAP MPR No.IV/MPR/1999 Bab IV Butir a.2 yang menyatakan :
“Menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama, hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi”.

Maka dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa hukum islam merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia dan dalam perkembangan hukum nasional terlihat dengan jelas bahwa hukum islam memiliki andil yang besar dalam mewujudkan hukum nasional
3. Tujuan Hukum Islam
Jika kita pelajari secara seksama ketetapan allah dan ketentuan rosullalh yang terdapat dalam al-quran dan hadist, maka dari situ kita akan mengetahui pula mengenai tujuan dari hukum islam itu sendiri . secara umum tujuan hukum islam adalah untuk memberikan kebahagiaan hidup manusia didunia dan diakherat kelak dengan jalam mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah yang muhdarat. Dengan kata lain hukum islam bertujuan untuk kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individual maupun sosial
Para ahli Ushul Fiqh membagi tujuan dari hukum islam menjadi 3 bagian yaitu :
1. Untuk memelihara hal- hal yang bersifat Ndaruriyat (Esessial dan Aksistensial) bagi kehidupan manusia. Hal-hal yang bersifat Ndaruriyat (Esessial dan Aksistensial) Menurut Abu ishaq attsatibi yaitu
- Memelihara agama,
- Memelihara jiwa,
- Memelihara akal,
- Memelihara keturunan
- dan Memelihara harta
yang mana kelima tujuan tersebut disebut dengan Al-mukhasidu alkhamsah atau al maqasid.
Dari tujuan-tujuan tersebut dapat terlihat bahwa terdapat kepentingan manusia yang bersifat primer yang dipelihara oleh hukum islam yaitu kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan dan kepentingan harta
2. Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat Hajjiyat yaitu hal yang diperlukan oleh manusia untuk memudahkan kesulitan dalam hidup dan kehidupan
3. Untuk mewujudkan kebutuhan hidup manusia yang bersifat Tahsiniyyah yaitu kebutuhan hidup yang berkaitan dengan keindahan, kewajaran, dan keselarasan hidup manusia dalam masyarakat.
4. Pengertian Zina dalam KUHP Positif
Kebanyakan orang mengatakan bahwa kata “Zina” dalam pasal tersebut diatas merupakan padanan dari kata “Overspel” ( Bahasa Belanda). Secara sosiologis kata zina, di Indonesia mengandung suatu pengertian yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang keduanya tidak terikat perkawinan yang syah
Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan menurut Arrest Hooge Raad 5 februari 1921 yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan mani
Dalam KUHP positif, zina disebut “Adultery”. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata zina dinyatakan sebagai berikut :
a)“ Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan (pernikahan) “
b) “Perbuatan bersenggama antara seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya”
KUHP merumuskan tindak pidana zina dalam pasal 284 yang didalamnya menyebutkan bahwa seorang laki-laki ataupun perempuan untuk dapat dikatakan telah melakukan kejahatan zina apabila satu satu pihak atau keduanya terikat dalam suatu perkawinan yang syah. Dengan demikian jika persetubuhan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang keduanya masih bujang maka bukanlah termasuk kejahatan dalam pasal 284 KUHP (bukan merupakan Kejahatan yuridis).
Perzinahan ini merupakan delik aduan absolut karenanya jika tidak ada pengaduan dari suami atau istri serta fihak yang merasa dirugikan maka perbuatan ini tidak dapat dituntut. Dalam pasal inipun disyaratkan bahwa kedua pelaku baik laki-laki maupun wanita adalah mereka yang tunduk pada pasal 27 BW, yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan seorang wanita dan seorang wanita dengan seorang laki-laki ( asas monogami)

PEMBAHASAN
A. Konsepsi Hukum Islam Tentang Zina
1. Pengertian Zina Menurut Hukum Islam
Islam memandang zina sebagai perbuatan keji dan merupakan salah satu dosa besar yang dalam sebuah hadist disebutkan bahwa zina merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dosanya paling besar setelah syirik dan membunuh, hadist lain juga menyebutkan bahwa zina akan membuka segala peluang terhadap perbuatan maksiat lainnya seperti pembunuhan, perselisihan dan lain sebagainya,selain itu perbuatan zina juga dapat menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar ,meruntuhkan nama baik dan kekayaan,serta akan dapat menyebarluaskan sejumlah penyakit baik jasmani dan rohani . Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada setiap ummatnya untuk menjauhi segala hal yang mendekati pada perbuatan zina.
Dalam surat Al-Isro’ ayat 32 yang menyebutkan agar manusia menjauhi zinah, karena zina itu merupakan suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk, artinya bahwa segala bentuk apapun dan cara yang bagaimanapun , besar atau kecil asalkan dapat mendekatkan manusia kepada perbuatan zina, dilarang oleh Islam, karena pada hakikatnya terdapat beberapa dampak negatif yang akan timbul dari adanya zina, diantaranya :
• Zina dapat merusak tatanan kehidupan
• Zina dapat menumbuh suburkan pelacuran dan prostitusi dan menyebabkan penyebaran penyakit kotor seperti HIV/AIDS
Terkait dengan pengertian zina, dalam beberapa kitab banyak para ulama’ islam yang telah mendefinisikannya, misalnya definisi yang telah dikemukakan oleh Idris Ahmad mengatakan bahwa zina artinya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan diluar perkawinan atau persetubuhan yang dilakukan tidak dengan nikah yang syah. Zina baru dikatakan sebagai zina apabila ia seseorang memasukkan kemaluan atau kadarnya kedalam kemaluan perempuan
Neng Djubaedah yang mengartikan bahwa sesungguhnya zina menurut hukum islam adalah persetubuhan yang di akukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat perkawinan yang syah baik atas dasar suka sama suka maupun atas dasar paksaan salah satu pihak
Ulama-ulama imam Hanafi merumuskan bahwa zina diartikan sebagai persetubuhan yaitu melenyapkan kepala kemaluan laki-laki atau lebih dari seorang yang mukallaf kedalam kemaluan perempuan, yang dilakukan tidak oleh karena Subhat, ibnu Rusd menambahakan bahwa zina tersebut dilakukan diluar perkawinan yang syah
Haliman berpendapat bahwa “dikecualikan persetubuhan orang yang dipaksa oleh karenanya tidak atas kehendak sendiri, karena paksaan mengecualikan hukuman had” begitu pula pendapat yang dikemukakan oleh AnNawawi mensyaratkan adanya sahwat artinya bahwa terhadap pelakunya terdapat adanya kemauan bukan paksaan.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu daud , dikatakan bahwasanya, Abu Hurairah berkata: “telah datang Aslami kepada Nabi s.a.w., dan ia menyaksikan bagi dirinya sendiri bahwa ia telah mengenai seorang perempuan yang haram, empat kali, dan terhadap setiap pengakuannnya nabi berpaling, dan beliau menerimanya pada kali yang kelimanya, dan Beliau berkata : Apakah anda bergurau dengan dia ? ia berkata: Ya, seehingga lenyap kepunyaan anda kedalam kepunyaannya? Ia berkata:Ya, Berkata Beliau: sebagaimana lenyapnya batang Celak (mirwad) kedalam tabung celak atau seperti timba kedalam telaga, Berkata: Ya, Apakah anda tahu apakah zina itu?, Berkata ia:Ya, saya telah mendatanginya secara haram , berkata Beliau: dan apakah kehendak anda dengan perkataan ini? Berkata ia: Saya ingin agar anda membersihkan saya, maka beliau memerintahkannya dan iapun dirajam”
Dari hadist tersebut juga tampak mengenai pengertian dari zina yang mana zina diartikan sebagai persetubuhan yaitu dengan memasukkan kemaluan laki-laki kepada kemaluan perempuan tanpa keraguan yang mana persetubuhan tersebut dilakukan oleh kedua pihak karena adanya kehendak dari keduanya.
Dari uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa zina menurut pandangan hukum islam adalah hubungan sekual yang di lakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang syah atas dasar suka sama suka dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan tanpa keraguan(syubhat) untuk mencapai kenikmatan tertentu .
Dari beberapa pengertian zina yang telah disebutkan diatas dapat terlihat bahwa sesungguhnya dalam pengertian zina paling tidak harus mencakup sedikitnya 3 unsur pokok diantaranya :
1) Al-Amil artinya seseorang yang melakukan perbuatan zina baik laki-laki maupun perempuan, jadi Al-amil ini terkait dengan pelakunya. Mengenai Al-amil ini sendiri harus memenuhi beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat di katakan sebagai Al-amil dalam perbuatan zina sehingga perbuatan zina tersebut dapat dijatuhi hukuman had, persyaratan tersebut adalah :
• Al-amil harus merupakan seseorang yang dalam keadaan telah dewasa,
• Al-amil harus dalam keadaan sadar dan berakal sehat
• Al-amil tidak dalam keadaan terpaksa atau mau sama mau
• Al-amil harus tidak dalam kebodohannya
2) Al-ma’mul alaih yaitu alat vital yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan zina yakni penis laki-laki dan vagina perempuan. Maka tidaklah dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina apabila seorang laki-laki hanya memasukkan jari jari tangannya ke dalam lubang vagina perempuan juga tidaklah dikatakan sebagai zina jika laki-laki memasukkan batang penisnya kedalam mulut perempuan.
3) Tidak dalam perkawinan yang syah. Artinya mereka yang melakukan zina tersebut bukanlah pasangan suami istri hukum islam perkawinan baru dianggap syah manakala segala syarat dan rukun dari perkawinan telah terpenuhi.

2. Dasar Hukum
Alqur’an sebagai sumber hukum utama dalam Islam, didalamnya telah menyebutkan beberapa ayat yang menegaskan mengenai adanya larangan zina beserta sanksinya, dimana ayat-ayat alquran tersebut adalah sebagai dasar dan landasan hukum dari adanya larangan zina , beberapa ayat tersebut diantaranya:
Dalam surat Al-isro’ ayat 32 , yang berbunyi:
“Walaa Taqrobuzzinaa innahuu kaana faa khisataa wasaa-a sabiila”

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”( QS Alisraa’ :32)

Surat Al-israa 32 tersebut mengambarkan betapa pentingnya manusia untuk menjauhi segala perbuatan yang mendekati pada perbuatan zina karena akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut sangatlah mengerikan, seperti terjadinya perselisihan, pembunuhan, meruntuhkan nama baik seseorang dan juga dapat menyebarluaskan sejumlah penyakit . dan dalam sebuah hadist Rasullallah menyebutkan bahwa :
Artinya: “ Tidak ada suatu dosa setelah sirik yang lebih besar dari pada seorang lelaki yang meletakkan sperma didalam rahim wanita yang tidak halal baginya”
Sebagai upaya represif dalam menanggulangi terjadinya perbuatan zina, islam juga menetap kan hukuman dan sanksi kepada pelakunya yang disebutkan dalam surat Annur Ayat 2 disebutkan bahwa:
“ Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah keduanya masing-masing seratus kali dera, janganlah sayang kepada keduanya yang akan menjadi penghalang dalam menjalankan agama (hukum) Allah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah hukuman itu disaksikan oleh orang-orang yang beriman”

Didalam sebuah hadist juga disebutkan bahwa :
“Zina itu mengharuskan untuk dihukum Had bagi yang melakukannya serta mengetahui tentang diharamkannya perbuatan itu dengan memasukkan penis atau kira-kiranya kedalam lobang vagina yang diharamkan”

Di dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud di uraikan bahwa, Jabir bin abdillah Ra Berkata: “Ada seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, lalu Rosullallah SAW memerintahkan supaya terhadap lelaki tersebut ditegakkan had dengan didera, kemudian Rosullallah dikhabari bahwa orang tersebut adalah mukhson, maka rosul memerintahkan supaya dia dirajam”.
Dalam beberapa ayat dan hadist tersebut terlihat bahwa terdapat dua macam bentuk zina yaitu zina mukhson dan ghairu mukhsan, yang pada kedua bentuk zina tersebut memiliki sanksi yang berbeda pula.
3. Macam/ Bentuk Zina menurut Hukum Islam
Menurut hukum islam terdapat dua Macam/Bentuk Perbuatan Zina yaitu:
a) Zina Muhson , dengan hukuman rajam . untuk dapat dikatakan sebagai pezina mukhson maka pelakunya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
• Pelaku zina telah dewasa
• Pezina adalah mukallaf yakni orang yang berakal sehat/waras
• Pezina termasuk orang yang merdeka
• Pezina pernah melakukan/menjalani persetubuhan dalam pernikahan yang syah, artinya pezina tersebut pernah beristri atau bersuani menurut perkawinan
b) Zina Ghoiru Muhson , yaitu perzinahan yang pelakunya tidak mencukupi persyaratan ihson yakni pelakunya belum pernah melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang syah. Artinya para pelaku belum pernah menikah.
Selain kedua bentuk/ macam zina tersebut diatas, banyak ahli-ahli fiqih yang juga menyebutkan beberapa perbuatan yang juga dikategorikan sebagai perbuatan zina yaitu:
a) Ittiyan Albahimah yaitu hubungan sekual dengan binatang.
Menurut pandangan Hukum Pidana Islam , hubungan seksual antara manusia dengan binatang merupakan suatu perbuatan yang memiliki sanksi yang amat berat yaitu hukuman bunuh bagi pelakunya , dan ada pula yang mengatakan bahwa perbuatan ini dapat dijatuhi hukuman had seperti terhadap pelaku zina, meskipun ada yang menafsirkan bahwa perbuatan ini dijatuhi hukuman ta,zier
Di tinjau dari hukum islam , hubungan seksual antara manusia dengan binatang bukanlah merupakan penganiayaan terhadap binatang , tetapi termasuk dalam tindak pidana berat yang serupa dengan tindak pidana perzinahan. Adapun sanksinya telah di tentukan langsung dalam sunnah Rosulallah pada abad ke-6 / ke7 Masehi baik bagi sipelaku maupun terhadap binatang itu sendiri karena hewan yang telah di setubuhi orang akan merusak ekosistem, seperti halnya yang telah di gambarkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ahmad abu daud dan tarmidzi bahwa rasulallah bersabda “Barang siapa menyetubuhi binatang , maka bunuhlah dia dan bunuhlah pula binatangnya.”
b) Ittiyan almayyitah ( berzina dengan mayat ) yaitu Hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang amsih hidup terhadap seorang yang sudah meninggal . menurut Ulama mazhab Syafii, maliki dan hambali perbuatan ini dap[at dikatakan sebagai perbuatan zina , namun menurut Haliman bahwa hukuman yang dijatuhi terhadap pelakunya adalah hukuman ta’zier bukan had. Namun menurut Ulama imam maliki yang dikutip oleh Syarbini Khatib bahwa hubungan seksual yang dilakukan dengan oreng yang sudah meninggal dijatuhi hukuman had.
Ittiyan albahimah dan Ittiyan Almayyitah menurut penulis tidaklah dapat dikatakan sebagai perbuatan zina karena kedua perbuatan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai perbuatan zina yaitu memasukkan kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan, sedangkan yang terjadi dalam perbuatan ini pelakunya adalah manusia dan binatang serta manusia dengan mayat.
Pada ittiyan albahimah terlihat jelas bahwa pelakunya adalah manusia dan binatang tetapi pada ittiyan almayyitah terlihat bahwa telah terjadi zina dengan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam kemaluan perempuan tetapi perbuatan ini tetap tidak dapat dikatakan sebagai zina karena dalam salah satu syarat zina disebutkan bahwa bahwa alma’mul ilaih / alat kelamin harus merupakan kepunyaan orang yang masih hidup , bukan pula kepunyaan binatang, Karena vagina kepunyaan mayat dan binatang tidak diingini menurut tabiat manusia, demikian yang disebutkan oleh asyhari Abd gofar dalam bukunya . Pendapat tersebut juga menguatakan pendapat penulis bahwa memang tidaklah tepat jika kedua perbuatan tersebut dikategorikan sebagai zina karena tidak memenuhi syarat dan rukun zina yang ada.

c) Homo seksual / Liwat
Terhadap pelaku homo menurut beberap ulama fiqih mengatakan bahwa keduanya dihukum dengan hukuman Rajam sebagaimana yang disebutkan dalam Surat al ankabut ayat 29 yang artinya: Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun* dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar."
mengenai hal ini memang masih terdapat perselisihan pendapat antara ulama-ulama fiqih, sebagian masih ada yang berpendapat bahwa perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan zina, namun ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa perbuatan ini merupakan suatu bentuk pelanggaran seks atau seks yang menyimpang, sehingga pemberian hukumannya juga berbeda dengan pelaku zina.
Menurut imam Abu hanifah bahwa homoseks itu tidak termasuk dalam perbuatan zina karenanya tidak ada hukuman had baginya kecuali ta’zier. Menurut Imam maliki bahwa hukuman had terhadap pelaku homoseks dapat diberikan kepada sipelanggar yang sudah menikah ataupun belum menikah, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh abu Hurairah, yang artinya :” barang siapa diantara kamu menemukan seseorang yang melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kaum Luth /yaitu Homoseks, maka bunuhlah dia yang diatas maupun yang dibawah” dan dalam riwayat lain juga dikatakan :” Bunuhlah sipelaku dan yang melayaninya”
d) Lesbian/ Musahaqah
Selain laki-laki bersetubuh dengan laki-laki juga ada persetubuhan yang dilakukan antara sesama perempuan yang disebut dengan lesbian atau musahaqah, yang hukumannnya wajib dihukum had, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa yang berbunyi: “ Bila Wanita menyetubuhi wanita maka keduanya juga berzina” (HR AlBaihaqi dalam Syu’abil Iman)
Hadist lain yang diriwayatkan oleh Watsilah RA dikatakan bahwa rasullalah bersabda bahwa “Musahaqah diantara para wanita adalah zina diantara mereka”
Menurut penulis, lesbian atau musahaqah tidaklah dapat disebut sebagai perbuatan zina karena perbuatan ini tidak memenuhi syarat-syarat zina. Disebutkan sebelumnya bahwa syarat zina adalah : pertama , Alamil yaitu pelakunya adalah seorang laki-laki dan perempuan , kedua, Alma’mul alaih yaitu alat vital yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan zina yakni penis laki-laki dan vagina perempuan.sedangkan dalam bentuk ini hanyalah terdapat satu alat vital perempuan, sehingga perbuatan ini tidaklah dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina, tetapi perbuatan ini merupakan salah satu bentuk penyaluran sekss yang tidak normal/ seks menyimpang, yang bertentangan dengan fitrah manusia. Demikian pula yang dikatakan oleh sjarbini Chatibi yang mengatakan bahwa tidak ada perzinahan antara perempuan dengan perempuan karenanya tidak ada yang dimasukkan.
e) Berzina dengan mahramnya / Zina maharim
Mahran yaitu orang-orang yang haram dinikahi, dimana antara saudara mahram seharusnya saling menghormati untuk itu jika terjadi zina dengan sesama mahramnya, maka seseorang telah berani melanggar kehormatan sesama mahram
Berzina dengan mahramnya ini disebut juga dengan incest. Mahram adalah orang-orang yang haram dinikahi , yang didalam firman Allah surat Annisa’ ayat 22-24 diuraikan siapa-siapa saja orang yang haram dinikahi, yang artinya
“ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu , kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburukburuk jalan yang ditempuh . dan diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan , saudara-saudara bapakmu yang perempuan (paman), saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki/ keponakan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan , ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu/mertua, anak-anak istrimu dalam pemeliharanmu/anak tiri dari istri yang telah kamu campuri tetapi jika belum kamu campuri dan kemudian akan kamu ceraikan maka tidak berdosa jika kamu mengawininya. Dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu/menantu, dan menghimpun dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang”
Dari bunyi ayat diatas terlihat bahwa didalam Hukum Islam terdapat tiga macam golongan orang-orang yang haram dikawini artinya bahwa ketiga golongan tersebut juga haram untuk disetubuhi, golongan tersebut diantaranya:
- Keluarga sedarah seperti ibu/ayah, saudara perempuan/laki-laki, anak perempuan , paman/ Bibi, keponakan
- Keluarga mushoharoh/ semenda seperti Manantu, Mertua, anak tiri, adik ipar
- Keluarga sesusuan
Dari ketiga golongan tersebut, disebut dengan incest bila melakukan persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah, menurut hukum islam keluarga sedarah yang haram dinikahi adalah sampai derajat kedua
4. Pembuktian Zina Dalam Hukum Islam
Penjatuhan hukuman terhadap pelaku zina tidak dapat dijatuhkan jika terdapat subhat atau kesamaran, oleh karena itu penyelidikan dan pemeriksaan terhadap perkara zina harus dilakukan secara cermat dengan disertai kesaksian yang kuat dan alat-alat bukti yang akurat, maka dari itu didalam hukum islam terdapat dua cara untuk membuktikan terjadinya zina: :
• Dengan Iqrar atau pengakuan dari pezina
Menurut Drs.Fathur Rahman mengatakan bahwa iqrar adalah pernyataan seseorang baik berupa ucapan , lisan maupun lain sebagainya dimana orang lain mempuyai hak atas sesuatu yang berada dalam dirinya atas suatu pernyataan bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan pidana/delik. Dalam Firman Allah Surat AlImran ayat 81 berbunyi:
“ Apakah Kamu mengakui dan menerima perjanjianku terhadap yang demikian itu? Mereka menjawab “Kami mengakui” (Q.S.Al-Imran 81)
Pembuktian dengan Iqrar ini dapat dibenarkan dengan berdasarkan dalil baik dari Alqur’an, hadist, maupun ijma’ para ulama.namun para ulama telah sepakat bahwa untuk menetapkan adaya iqrar sebagai alat pembuktian ,maka harus dipenuhi dua syarat yaitu:
- Iqrar harus benar, artinya harus diyatakan oleh orang yang sehat pikirannya dan tidak dalam keadaan terpaksa
- Iqrar yang dilakukan secara lisan maupun tulisan tersebut harus dikemukakan secara tegas, jelas dan terinci.
Menurut Ulama-ulama imam maliki dan imam Syafi’I menyebutkan bahwa pengakuan memiliki dua syarat yaitu:
- harus diberikan dengan terang
- Pengakuan itu tidak menunjukkan kedustaan
• Adanya Kesaksian dari empat orang saksi
Jumlah kesaksian yang berjumlah empat orangmerupakan jumlah minimal dalam memberikan kesaksian dalam masalah yang berhubungan dengan zina, karena dalam kasus perzinahan ini menentukan mati hidupnya seseorang yang disangka melakukan zina, sehingga penjatuhan hukuman zina pada sipelaku harus dilakukan secara teliti dan benar. Mengenai hal ini Allah berfirman dalam surat Annisa’ ayat 15 yang berbunyi “dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari padamu”.(QS Annisa 15)
Dan didalam firman allah lain nya juga ditegaskan kembali mengenai kedudukan saksi dalam menentukan adanya suatu perbuatan zina, sebab selai zina menentukan hidup matinya seseorang karena hukumannya, zina juga terkait dengan kehormatan dan harga diri seseorang yang dituduh melakukan zina, untuk itu dalam surat Annur ayat 4 disebutkan bahwa:
“ mereka yang tidak mampu mendatangkan empat orang saksi atas seseorang yang dituduh berbuat zina, maka deralah dengan delapan puluh kali dera”

B. Eksistensi Hukum Islam dalam Rancangan KUHP
Gagasan pembaharuan hukum pidana nasional telah lama di canangkan termasuk di dalamnya adalah dengan melakukan pembaharuan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Usaha pembaharuan tersebut di lakukan atas fakta bahwa KUHP yang berlaku saat ini tidak relevan lagi dengan tuntutan perkembangan pemikiran hukum dan dinamika masyarakat yang semakin kompleks , dan salah satu implikasi pertimbangan tersebut adalah bahwa perumusan KUHP mendatang harus merupakan produk kesadaran yang lekat dengan masyarakat Indonesia, oleh karenanya yang menjadi pertanyaan terkait dengan hal ini adalah mengenai sumber yang harus digali dalam perumusan ketentuan yang ada didalam KUHP mendatang.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu kajian alternatif yang dirasakan cukup mendesak terkait dengan ide pembaharuan yang dilakukan dewasa ini adalah kajian terhadap sumber hukum yang diharapkan lebih dekat dengan karakteristik masyarakat indonesia yang bersifat monodualistik dan pluralistik yaitu sumber hukum yang berorientasi pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat salah satunya adalah Hukum Islam
Dari pertimbangan di atas, maka terdapat beberapa langkah strategis yang harus ditempuh dalam memposisikan hukum islam dalam konteks politik hukum dan perundang-undangan sehingga akan membawa kemaslahatan dan menjamin keutuhan serta integrasi bangsa salah satunya adalah dengan melakukan reinterprestasi ajaran islam yang meliputi interpresatsi formalitas dan sosiologis sehingga mampu mengakomodasikan kemajemukan yang ada.
Secara empiris , Hukum Islam paling tidak mempunyai pengaruh dalam praktek hukum dan dalam pemikiran hukum masyarakat, yang tingkat keberlakuan dan pengaruhnya terlihat dari gambaran empiris mengenai sejauh mana hukum pidana Islam berlaku sehingga hukum islam tetap relevan untuk dijadikan sebagai salah satu sumber dalam melakukan pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Secara teoritis terdapat beberapa kesepakatan yang dihasilkan melalui beberapa seminar hukum dan symposium nasional, yang dijadikan sebagai dasar pemikiran bahwa hukum islam dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dalam perumusan Tindak pidana :
c) Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional Ke-1 Tahun 1963
- Resolusi butir IV :
“ Yang dipandang sebagai perbuatan jahat adalah perbuatan yang dirumuskan unsure-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi dengan sansi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa “
- Resolusi Butir VIII:
“ Unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dijalinkan dalam KUHP”
d) Seminar Hukum Nasional IV/1979
Dalam laporan sub. B.II mengenai Sistem Hukum Nasional” dinyatakan bahwa :
- Sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia.
- .. Hukum Nsional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Disamping itu hukum tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional”

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka hukum islam diakui eksistensinya sebagai salah satu sumber dalam perumusan Tindak pidana di masa mendatang Salah satu implikasinya adalah dengan mengakomodir nilai-nilai hukum islam ke dalam KUHP Nasional Mendatang termasuk juga dalam perumusan Tindak pidana Zina yang dalam KUHP saat ini diatur dalam pasal 284.
Menurut beberapa ahli hukum islam seperti Ahmad Hanafi , Alie Yavie, Mohammad Tahir azhary, Malik Fadjar, Jimly assidqi, mengemukakan bahwa ketentuan-ketentuan Hukum pidana yang perlu disesuaikan dengan Hukum pidana islam salah satunya adalah ketentuan tentang zina.
Pada perkembangannya didalam KUHP mendatang, perumusan tindak pidana zina lebih disesuaikan dengan latar belakang sosiologis masyarakat indonesia yang religius dan komunalistik yaitu dengan mengadopsi dan mengakomodir Nilai-nilai hukum islam yang secara empiris keberlakuan hukum islam itu sendiri memiliki landasan sosioreligius yang kokoh , yang tergambar dalam kehidupan empiris masyarakat Indonesia, sehingga pengertian zina dalam KUHP mendatang substansinya telah dipengaruhi nilai-nilai hukum islam yang tidak lagi terbatas pada pelaku yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan yang syah
Masalah perluasan dan perkembangan yang terjadi dalam Tindak pidana zina, menurut hemat penulis haruslah ditinjau dari ruang lingkup yang lebih luas lagi baik dari sudut kebijakan hukum pidana (penal policy), juga tidak bisa dilepaskan pula dengan kebijakan kriminal dan kebijakan social. Penganalisaan masalah dengan pendekatan kebijakan tidak akan bisa dilepaskan dari pendekatan nilai (value oriented approach) .
Prof. Barda Nawawi dalam sebuah seminar menjelaskan bahwa penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana merupakan lingkup dari masalah kebijakan, dan masalah kebijakan juga akan terkait dengan banyak faktor dan pertimbangan serta alternatif yang harus dipilih, salah satunya adalah terkait dengan pandangan dan konsep nilai dari masyarakat tentang zina.
Pandangan dan konsep nilai dari masyarakat yang bersifat individualistik dan liberalistik tentunya berbeda dengan pandangan masyarakat indonesia yang lebih bersifat kekeluargaan , kolektivistik dan monodualistik, yang memandang masalah zina bukan semata-mata sebagai masalah privat dan kebebasan Individu tetapi berbicara masalah zina juga akan terkait dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas.
Pada perkembangannya perubahan dan perluasan terhadap tindak pidana zina dalam konsep, tampak dalam beberapa hal. Diantara perubahan tersebut adalah:
a. Perubahan yang terlihat dari konsep dan rumusan dari Tindak pidana zina, yang mana kita ketahui bahwa dalam KUHP yang kita gunakan saat ini pengertian zina masih sangat sempit yang mensyaratkan salah satu atau keduanya telah menikah sehigga jika pelaku masih belum meikah, atau dilakukan oleh duda dan janda, pasal 284 KUHP tidak dapat menjerat pelakunya.
Pada perkembangannya yang terjadi didalam KUHP mendatang pengertian zina tidak lagi mensyaratkan demikian, karena pengertian zina dalam KUHP mendatang pengertian zina telah didasarkan pada pandangan dan struktur masyarakat indonesia yang menjunjung tinggi norma-norma kepatutan yang berlaku, salah satunya adalah pandangan dan konsep Hukum Islam sehingga zina dalam konsep mendatang sudah diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan diluar perkawinan yang syah .
Dalam pengertian tersebut tampak bahwa pengertian zina dalam KUHP mendatang bukan hanya setara dengan pengertian Adultery tetapi juga memasukkan konsep Fornication dimana perumusan zina dalam KUHP mendatang telah mengakomodir konsep dan pandangan hukum islam tentang Tindak pidana zina yang tidak mempermasalahkan lagi apakah pelaku sudah terikat perkawinan atau tidak, asalkan dilakukan diluar perkawinan maka sudah dapat dikatakan sebagai zina
b. Macam dan bentuk perbuatan zina yang dalam konsep telah menambahkan beberapa pasal baru yang didalamnya menggambarkan macam dan bentuk perbuatan zina, diantaranya adalah:
- Zina yang dilakukan oleh perawan dan bujang
- Zina yang dilakukan oleh pelaku yang salah satunya telah terikat perkawinan
- Zina yang dilakukan dengan anak -anak
- Zina yang dilakukan dengan keluarga sedarah (Incest)
- Laki-laki dan perempuan yang hidup bersama seperti suami istri
Dari perubahan yang terjadi tampak terlihat keberadaan dari nilai-nilai hukum islam didalamnya karena didalamnya juga telah mengadopsi macam dan bentuk zina dalam Hukum Islam seperti zina Mhukson yang mensyaratkan bahwa pelakunya pernah melakukan persetubuhan dalam perkawinan yang syah , zina ghairu mukhson yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah, zina maharim yaitu persetubuhan dengan anggota keluarga.
c. Perubahan yang tampak dalam perumusan tindak pidana zina dimana zina dalam KUHP mendatang tidak lagi dirumuskan sebagai Tindak pidana Aduan yang Absolut dimana hanya istri/suaminya saja yang berhak melakukan penuntutan
Pada perkembangannya didalam KUHP mendatang tindak pidana zina telah dirumuskan sebagai Delik Aduan yang Relatif yang telah memberikan hak kepada masyarakat untuk melakukan penuntutan dalam hal terjadinya zina artinya bahwa masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengaduan atas terjadinya tindak pidana zina
Menurut hukum islam juga disebutkan bahwa siapa saja dapat memberikan kesaksian atas terjadinya zina asalkan memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam syariat islam, artinya bahwa siapapun orangnya dapat melakukan penuntutan atas terjadinya zina. Dari ketentuan inipun tampak bahwa nilai-nilai hukum islam telah diakomodir didalam KUHP Mendatang.
Di lihat dari pendekatan kebijakan , memang kepentingan individu dalam hal ini patut diperhitungkan, khususnya pihak suami/isrtri/ anak yang sedang tertimpa musibah akibat dari perbuatan zina yang dilakukan. Namun pertiimbangan tersebut haruslah dilakukan secara proposional , tidak berlebihan dan tidak terlalu didramatisasi sehingga patut dipertimbangkan bahwa pengaturan tindak pidana zina dijadikan sebagai delik aduan relatif, yang relatifnya bukan hanya digantungkan pada kepentingan individu tetapi juga di orientasikan pada kepentingan masyarakat artinya dalam perumusannya juga harus memperhatikan asas keseimbangan antara kepentinga indivudu dan dan kepentingan masyarakat
Muladi dalam seminar Hukum dan Kriminologi disemarang menyebutkan bahwa, perubahan dan perluasan terhadap perumusan perbuatan zina didalam Rancangan KUHP mendatang diantaranya didasarkan atas beberapa alasan dan pertimbangan sebagai berikut:
a. Terkait dengan Sifat dan hakekat tindak pidana perzinahan itu sendiri bagi yang terikat perkawinan , pada hakekatnya termasuk dalam salah satu tindak pidana kesusilaan yang erat hubungannya dengan nilai-nilai kesucian dari suatu perkawinan dan lembaga perkawinan yang dianut oleh warga masyarakat yang lebih bersifat kekeluargaan. Sehingga dengan alasan ini maka perbuatan zina tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut dianggap mengingkari kesucian dari lembaga perkawinan dan perkawinan itu sendiri.
b. Bahwa dengan tetap menetapkan perbuatan zina sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP mendatang, merupakan usaha dalam mencapai tujuan pencegahan lewat hukum pidana yakni pencegahan terjadinya suatu tindak pidana baik pencegahan yang bersifat khusus (special preventie) maupun umum (generatie prefentie). Maka dipandang dari sudut ini, sangat penting rasanya untuk menetapkan kebijakan bahwa perbuatan zina dengan berbagai bentuknya harus dipandang sebagai tindak pidana dalam konsep KUHP mendatang
c. Dengan menetapkan perbuatan zina dan segala bentuknya sebagai tindak pidana dalam Rancangan KUHP mendatang juga dapat mencegah tumbuh berkembangnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit kotor dan penyakit-penyakit lain yang membahayakan masyarakat.
d. Dengan memperluas konsep zina diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat baik dalam hal perkawinan maupun kewarisan artinya jika terjadi perkawinan terhadap anak hasil zina maka siapa yang berhak menjadi walinya jika yang dinikahimoleh ibunya bukanlah ayah biologisnya begitu pula terhadap masalah kewarisan juga berakibat pada hak waris yang dimiliki oleh sianak..
Dari uraian diatas dapat simpulkan bahwa terdapat beberapa konsep dan nilai-nilai menurut pandangan Hukum Islam yang telah diakomodir dan diadopsi dalam KUHP Mendatang artinya bahwa Hukum islam tidak diragukan lagi keberadannya dalam KUHP mendatang, sehingga dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana khususnya dalam perumusan tindak pidana zina dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada nilai (Value Oriented approach). dengan harapan bahwa diberlakukannya KUHP baru ini pada masa mendatang akan dapat memenuhi rasa keadilan dan daya guna bagi masyarakat sebab produk hukum tersebut sudah dapat mengekspresikan kehendak dan keinginan masyarakat secara luas.
Secara teoritis sumber-sumber hukum adat, hukum barat dan hukum islam memiliki nilai kemungkinan yang sama sebagai sumber dalam usaha melakukan pembaharuan hukum pidana nasional. Terhadap eksistensi atau keberadaan hukum islam dalam KUHP Mendatang itu sendiri karena secara teoritis tradisi hukum islam khususnya yang terkait dengan zina dianggap relevant untuk dijadikan bentuk tindak pidana dalam KUHP Mendatang. Menurut Soerjono Soekanto , relevan itu sendiri harus memenuhi tiga ukuran yaitu relevansi yuridis, filosofis dn relevansi sosiologis.
Relevansi Yuridis, filosofis, artinya bahwa adopsi hukum islam dalam perumusan tindak pidana zina dibentuk menurut cara-cara yang telah ditentukan menurut cara-cara yang telah ditetapkan serta kaidah hukum islam yang diadopsi haruslah sesuai dan tidak bertentangan dengan cita-cita hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi dalam falsafah hiduup masyarakat Indonesia yaitu yang terdapat dalam Pancasila yang dikaui sebagai GrundNorm artinya bahwa pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang harus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia juga dan seluruh jenjang hukum yang berlaku dinegeri ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam Teorinya yang terkenal yaitu Stuffenbawtheory bahwa suatu kaedah hukum memiliki kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan pada kaedah hukum yang tingkatannnya lebih tinggi
KUHP sebagai sumber hukum pidana di Indonesia seharusnya dapat mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa indonesia sebagaimana yang tercermin dalam Pancasila sehingga usaha pembaharuan hukum pidana nasional saat ini harus mampu mengakomodir dan menampung nilai-nilai luhur tersebut , untuk itu hendaknya pembaharuan hukum pidana dilakukan melalui suatu pendekatan yang terpadu antara pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( Policy oriented Approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai ( Value oriented Approach)
Dalam melakukan pembaharuan hukum pidana nasional melalui pendekatan nilai telah menghasilkan rumusan tindak pidana zina yang telah diadopsi dan diakomodir dari nilai-nilai dan hukum yang hidup dalam masyarakat salah satunya adalah Hukum Islam sehingga sudah tampak bahwa memang telah terdapat kesefahaman antara rumusan tindak pidana zina dalam rancangan KUHP dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum islam yang diakui sebagai salah satu norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam konsep mendatang pengertian zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang dilakukan diluar perkawinan yang syah demikian pula yang diatur dalam hukum islam, asalkan persetubuhan dilakukan diluar perkawinan maka sudah dapat dikatakan sebagai perbuatan zina. Sehingga dapat dikatakan bahwa hal ini sangat relevan dengan falsafah pancasila sebagai falsafah negara yang berbasis agama.
Selain itu juga kemungkinan untuk memberlakukan hukum islam sebagai salah satu bahan dalam pembentukan Hukum Pidana nasional, juga didukung oleh landasan yuridis yang cukup kuat yang terdapat dalam pasal 29 UUD 1945.sehingga hal inipun dapat dijadikan alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa keberadaan Hukum Islam sangat Relevan dalam KUHP mendatang.
Relevansi Sosiologis, bahwa secara sosiologis nilai-nilai dan ajaran hukum islam telah diakui dan diterima oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia , hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat islam di Indonesia dimana Islam sebagai agama mayoritas , dengan demikian hukum islam memiliki pengaruh dalam kehidupan hukum di Indonesia.
Namun demikian, besar tidaknya pengaruh islam di Indonesia, tentunya belumlah dapat digunakan sebagai alasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa hukum islam relevan untuk situasi sosio cultural masyarakat Indonesia tetapi ada tidaknya relevansi tersebut harus didasarkan atas kekuasaan umum yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat dua teori yang menjadi dasar relevansi bahwa secara sosiologis bentuk tindak pidana dalam Hukum Islam relevan untuk diakomodir dan diadopsi dalam KUHP Mendatang yaitu Teori pengakuan ( Teori anerkennung ) dan Teori Kekuasaan (Macht Theorie).
Menurut teori anerkennung bahwa berlaku tidaknya norma hukum ditentukan oleh sejauh mana masyarakat menerima dan mengakuinya sebagai norma yang ditaati. Secara empiris dapat kita lihat bahwa sebagian besar masyarakat indonesia memang menghendaki adanya perubhan dalam KUHP positif kita terlebih lagi terhadap perumusan Tindak pidana zina karena pada prinsipnya esensi yang terkandung didalamnya tidak mencerminkan kehendak dan keinginan sebagian besar masyarakat Indosesia karena KUHP positif yang berlaku merupakan warisan penjajah belanda yang memiliki pandangan serta prinsip yang berbeda.
Mengenai berlakunya Hukum islam, terdapat beberapa teori yang terkait dengan teori ini diantaranya:

• Teori Receptie In Complexiu/ penerimaan hukum islam sepenuhnya
• Teori Receptie / penerimaan hukum islam oleh hukum adat
• Teori Receptie A Contrario
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa berlakunya hukum islam tidak terlepas dari adanya kekuasaan politik yang ada, artinya bahwa berlaku atau tidaknya nilai-nilai hukum islam juga bergantung pada politik kriminal yang dianut suatu bangsa. agar nilai-nilai tersebut memiliki daya laku sebagai hukum maka hukum tersebut haruslah diterima dan diakui oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Maka atas dasar pandangan tersebut Ekesistensi hukum islam dalam konsep KUHP mendatang memang dianggap relevan karena Hukum Islam memang telah diakui dan diyakini ajarannya oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia, yang kemudian didukung oleh legitimasi dari pemerintah Indonesia.

C. Penjabaran konsep Hukum Islam Dalam Konsep KUHP mendatang Terkait dengan perumusan Tindak Pidana Zina
Untuk mengetahui bagaimana konsep dan pandangan hukum islam tentang zina dijabarkan dalam konsep KUHP Mendatang, sebelumnya akan penulis ketengahkan Rumusan pasal yang mengatur tentang Tindak pidan zina dalam Konsep KUHP, yang telah dirumuskan dalam pasal 484 sampai dengan pasal 488, dimana didalamnya telah terdapat perluasan rumusannya.yang berbunyi:
Pasal 484
(1) Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya,

b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya.
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan , padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki padahal diketahunya bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang syah melakukan persetubuhan
Dalam ketentuan pasal –pasal di atas, di atur mengenai zina yang dilakukan oleh seseorang yang salah satunya telah terikat perkawinan . Menurut hukum islam pezina tersebut disebut sebagai Mukhson karena didalamnya telah memenuhi syarat sebagai Mukhson yaitu Pezina pernah melakukan/menjalani persetubuhan dalam pernikahan yang syah, artinya pezina tersebut pernah beristri atau bersuami menurut perkawinan , sedangkan bagi pezina yang belum terikat perkawinan disebut sebagai Ghoiru Mukhson karena pelakunya belum pernah melakukan perkawinan. Sehingga tampak disini bahwa Rancangan mendatang telah mengakomodir konsep dan bentuk zina menurut pandangan hukum islam. Dari jabaran diatas dapat terlihat bahwa beberapa bentuk zina yang diatur dalam hukum islam telah terakomodir didalam konsep KUHP mendatang..

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istrinya dan pihak ketiga yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak berlaku ketentuan pasal 24,25,dan pasal 27
Dalam pasal ini mengatur tentang hal penuntutan dalam hal Terjadinya Tindak Pidana Zina, disebutkan bahwa tidaklah dapat sesorang dituntut atas Tindak pidana zina yang dilakukan kecuali perbuatan tersebut telah diadukan oleh Suami , Istri, dan pihak ketiga yang tercemar sehingga jika masyarakat sebagai pihak ketiga merasa terganggu dan tercemar atas terjadinya Tindak pidana Zina maka masyarakat memilki Hak untuk malakukan penuntutan walau pihak istri atau suami tidak melakukannya. Sehingga dari ketentuan tersebut telah tampak bahwa tindak pidana zina yang diatur dalam Rancangan mendatang bukan lagi merupakan Delik aduan Absolut yang hanya memberikan hak pada pihak suami atau istri saja untuk melakukan penuntutan.
Dalam hal penuntutan atas terjadinya tindak pidana zina , didalam hukum islam juga disebutkan bahwa siapapun dapat memberikan kesaksian dengan ketentuan bahwa orang yang memberikan pengaduan tersebut , benar-benar telah menyaksikan dan melihatnya sendiri, dan telah memenuhi syarat-syarat lainnya yang telah ditentukan dalam Hukum Islam seperti sehat akalnya/tidak gila, baligh, artinya bahwa setiap orang memiliki hak untuk mlakukan penuntutan atas terjadinya tindak pidana zina. sehingga dapat dikatakan bahwa baik dalam konsep KUHP mendatang maupun dalam hukum islam keduanya telah memberikan hak kepada masyarakat untuk melakukan penuntutan dalam hal terjadinya zina.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal ini juga masih mengatur mengenai hal pengaduan dalam hal terjadi Tindak pidana zina, yang menyebutkan bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang belum dimulai, disini terlihat bahwa dalam kasus perzinahan akan terkait dengan nilai-nilai kepentingan masyarakat luas minimal kepentingan keluarga terutama jika telah terjadi kehamilan pada siwanita sehingga memang masing-masing pihak telah mengambil kesepakatan untuk menempuh melalui jalan kekeluargaan maka selama sidang belum dimulai pengaduan dapat digugurkan.
Dalam hukum islam terdapat dua cara pembuktian zina pertama: dengan iqrar / pengakuan, kedua: dengan kesaksian dari empat orang saksi.
Mengenai pengkuan zina dari sipelaku, dalam hukum islam pengakuan tersebut dapat dicabut walaupun pencabutan pengakuan tersebut dilakukan pada saat pertengahan pelaksanaan hukuman maka hukuman tersebut dapat dihentikan, pendapat ini juga disepakati oleh beberapa ulama fiqih baik ulama imam syafi’I, hanafi maupun imam malik.

Pasal 485

Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anak-anak , dipidana dengan pidana paling singkat 2 thun 6 bulan, paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak Kategori VI

Rumusan pasal ini esensinya sama dengan rumusan yang diatur dalam pasal 287 KUHP. Dan jika dirinci rumusan pasal 485 ini akan tampak unsur-unsurnya yaitu:
- Perbuatannya : Bersetubuh
- Dengan Anak-anak diluar perkawinan
Namun dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan batasan usia anak, seperti yang disebutkan dalam pasal 287 KUHP.
Letak patut dipidananya dalam kejahatan baik dalam pasal 287 KUHP maupun 485 Konsep KUHP adalah pada unsur kesengajaannya yaitu diketahuinya bahwa perempuan tersebut masih anak-anak.
Sedangkan perbedaannya adalah pada ada tidaknya batasan usia untuk dikakatan sebagai anak dalam kedua pasal tersebut dimana dalam KUHP mendatang khususnya pasal 485 KUHP mendatang tidak menyebutkan secara jelas dan pasti mengenai batasan usia anak, sehingga masih terdapat kesamaran mengenai batasan usia anak,
Berdasarkan ketentuan dalam UU Peradilan anak no 3 tahun 1997 menyebutkan bahwa” seorang anak yang usianya dibawah 8 tahun, jika melakukan Tindak pidana maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukan namun jika usia sianak mencapai 8 tahun sampai 18 tahun dan belum pernah kawin maka sianak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, namun pertanggungjawaban pidananya tidak sama dengan pertanggungjawaban pidana orang dewasa atau bisa disebut sebagai pertanggungjawaban pidana khusus. .
Menurut hukum Islam terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan apabila seorang telah berumur dua belas tahun maka dianggap telah dewasa, dan terdapat pendapat lain seperti yang dikemukakan oleh Hadawiyah yang dikutip dari kahalani bahwa seorang perempuan dinaggap telah dewasa apabila telah mencapai umur 15 tahun dan tumbuh bulu-bulu hitam yang keriting pada ari-ari perempuan, sedangkan kedewasaan laki-laki secara ijma adalah bila dia telah bermimpi (bercampur dengan perempuan) denga mengeluarkan mani dan sebelum seseorang memenuhi batas kedewasaan tersebut maka belum dapat dikatakan sebagai Mukallaf maka berdasarkan hukum islam, tidaklah dapat dihukum atas perbuatannya karena dianggap tidak mampu bertanggung jawab.
Menurut hukum islam bahwa anak sebagai pelaku zina tidaklah dapat dijatuhi hukuman had seperti pelaku zina yang telah dewasa, karena menurut kesepakatan ulama bahwa seorang anak yang melakukan perbuatan zina maka orangtuanyalah yang berkewajiban memberikan hukuman kepadanya secara edukasi agar ia jera dan tidak mengulangi perbuatan semacam itu lagi pendapat ini juga didasarkan oleh syarat zina yang telah disebutkan dalam hukum islam yang salah satunya menyebutkan bahwa al Amil atau pelakunya adalah orang yang telah dewasa.
Mengenai sanksi pidana yang dijatuhkan , ketentuan dalam pasal ini juga senada dengan yang dijelaskan dalam Hukum Islam bahwa sianak tidak dikenakan sanksi pidana karena pada hakikatnya pasal ini dibentuk dengan maksud untuk memberikan perlindungan kepada sianak dari perbuatan yang melanggar kesusilaan sehingga tidaklah rasional dan tidaklah adil jika sianak juga dipidana..
Tidak adanya batasan usian anak yang jelas dalam KUHP mendatang hendaknya harus dikaji kembali karena hal ini merupakan unsur penting dalam mengimplementasikan suatu kaidah atau norma maka dari itu seharusnya ketentuan mengenai prsetubuhan dengan anak dalam Konsep KUHP mendatang hendaknya dilakukan perbaikan dengan memberikan uraian yang jelas mengenai batasan usia anak, seperti halnya yang disebutkan dalam hukum islam maupun KUHP yang digunakan saat ini
Pasal 486

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri diluar perkawinan yang syah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak kategori III

Dalam kenyataannya kasus ini sering terjadi, dimana seorang laki-laki dan perempuan yang bukan saudara, hidup satu atap seperti layaknya suami istri karena prilaku demikian merupakan prilaku yang melanggar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat seperti Hukum Islam sehingga patut kiranya hal ini diatur dalam Rancangan ini. Menurut Hukum Islam Hidup bersama seperti layaknya suami istri hukumnya adalah Haram.
Jika kita bandingkan dengan ketentuan yang ada dalam pasal 484 , dilihat dari beratnya sanksi pidana yang dijatuhkan tampak bahwa sanksi pidana yang dikenakan dalam pasal 486 lebih ringan dibandingkan dengan sanksi pidana terhadap pelaku zina yang diatur dalam pasal 484, padahal dilihat dari bobot perbuatan yang dilakukan ketentuan pasal 486 lebih berat jika dibandingkan dengan bobot perbuatan yang dilakukan dalam pasal 484. maka atas alasan tersebut patut kiranya ketentuan dalam pasal 486 dikaji ulang agar sanksi pidana yang dikenakan pada pelaku zina dalam pasal ini menjadi lebih berat.

Pasal 487
Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran dijalan atau ditempat umum dengan tujuan melacurkan diri , dipidana degan pidana denda paling banyak kategori I

Dalam ketentuan ini tampak bahwa KUHP melarang terjadinya pelacuran. didalam pasal ini memang telah mencerminkan bahwa hukum islam telah dijadikan sumber dalam merumuskan ketentuan mengenai tindak pidana zina, karena didalam hukum islam pelacuran dimanapun tempatnya hukumnya adalah Haram. Namun jika dikaji lebih dalam lagi maka sepatutnya perbuatan ini tidak dimasukkan dalam ketentuan mengenai Tindak pidana zina karena dalam pasal ini belum terjadi persetubuhan sebab baik dalam hukum islam maupun hukum pidana positif Indonesia diartikan bahwa zina adalah persertubuhan
Akan tetapi jika kita melihat lagi pada dasar filosofis dilakukannya perubahan dalam KUHP mendatang Khususnya mengenai Tindak pidana zina telah disebutkan bahwa dengan menetapkan perbuatan zina sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP mendatang, merupakan suatu usaha dalam mencapai tujuan pencegahan lewat hukum pidana yakni pencegahan terjadinya suatu tindak pidana baik pencegahan yang bersifat khusus (special preventie) maupun umum (generatie prefentie). Maka dipandang dari sudut ini, sangat penting rasanya untuk menetapkan kebijakan bahwa perbuatan yang mengarah pada terjadinya Perzinahan harus dipandang sebagai tindak pidana dalam konsep KUHP mendatang
Pasal 488

(4) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut adalah anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun paling lama 12tahun
(5) Jika tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh laki-laki terhadapa perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin , maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun paling lama 13 tahun
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa Laki- laki dan perempuan yang masih memiliki hubungan keluarga sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga (Incest), didalam hukum islam perbuatan ini juga diharamkan dan disebut dengan zina maharim.
Mengenai zina maharim dalam Konsep mendatang disebutkan bahwa persetubuhan yang dilarang adalah persetubuhan yang dilakukan dengan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampaii derajat ketiga yaitu saudara kandung, keponakan, paman, bibi dan sepupu. Sedangkan menurut hukum islam bahwa zina maharim itu hanyalah sampai pada derajat kedua . didalam Alquran pengaturan mengenai hal ini tampak dalam surat Annisa ayat 22-24, dari bunyi ayat tersebut tersirat bahwa melakukan perkawinan dengan sepupu tidak dilarang dan persetubuhan yang dilakukan dengan sepupu tidak dikategorikan sebagai tindak pidana Incest dalam hukum Islam. Seperti halnya yang disebutkan dalam pasal 8 UU perkawinan No.1 Tahun 1974 bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara , antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya
- Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan bapak/ibu tiri
- Memiliki hubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan dan saudara susuan
Dari sini dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana incest dalam Konsep mendatang ketentuannya berbeda dengan ketentuan yang ada dalam UU Perkawinan juga dalam Kompilasi hukum islam. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada derajat kekeluargaan dalam tindak pidana incest yang diatur didalamnya, dimana pada Hukum Islam hanya disebutkan sampai derajat kedua begitu pula yang diatur dalam UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, sedangkan dalam KUHP mendatang pengaturan larangan incest disebutkan sampai derajat ketiga.
Dengan adanya perbedaan tersebut seharusnya ketentuan mengenai incest dalam KUHP mendatang harus dikaji dan diperbaharui kembali karena ketentuan ini bukan hanya berbeda dengan ketentuan menurut hukum islam saja tetapi ketentuan ini juga berbeda dengan ketentuan yang ada dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang tidak mengharamkan atau memperbolehkan orang-orang yang termasuk dalam golongan derajat ketiga seperti saudara sepupu untuk dinikahi.
Dan dalam mengkaji kembali ketetuan mengenai incest ini KUHP mendatang juga selain harus memperhatikan nilai-nilai hukum islam yag ada juga tidak melupakan ketentuan perundang undangan terkait seperti UU Perkawinan maupun kompilasi Hukum Islam


PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada akhirnya dapatlah ditarik beberapa kesimpulan darii analisa tersebut, yaitu:
1. Zina menurut konsepsi Hukum Islam diartikan sebagai hubungan sekual yang di lakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang syah atas dasar suka sama suka dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan tanpa keraguan(syubhat) untuk mencapai kenikmatan tertentu. Dan dalam pengertian Zina paling tidak harus memenuhi beberapa unsur diantaranya sebagai berikut:
a. Al-Amil , syaratnya dewasa, dalam keadaan sadar dan berakal sehat, tidak dalam keadaan terpaksa atau mau sama mau,. tidak dalam kebodohannya
b. Al-ma’mul alaih yaitu alat vital yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan zina yakni penis laki-laki dan vagina perempuan.
c. Tidak dalam perkawinan yang syah.
2. Eksistensi Hukum islam tentang zina dalam Konsep KUHP mendatang, dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu:
a. Dalam Konsep dan pegertian yang terdapat dalam KUHP Mendatang,
b. Dari segi bentuknya, didalam KUHP mendatang telah mengadopsi bentuk-bentuk zina menurut kwalifikasi hukum islam seperti zina mukhsan dan zina ghairu mukhsan
c. Dalam hal penuntutan atas terjadinya tindak pidana zina , dimana KUHP mendatang telah memberikan hak kepada pihak ketiga seperti masyarakat untuk melakukan pengaduan atas terjadinya Tindak pidana Zina
3. Penjabaran nilai-ilai Hukum Islam dalam KUHP mendatang tampak dalam rumusan pasal tentang zina :
- Zina yang ditur dalam pasal 484, secara tersirat tampak didalamnya telah mengakomodir bentuk/ macam zina menurut hukum islam seperti zina mukhson dan ghoiru mukhson.
- zina yang dilakukan dengan anak dibawah umur yang diatur dalam pasal 485, pasal ini dibentuk untuk memberikan perlindungan hukum pada anak dari perbuatan yang melanggar kesusilaan sehingga anak tidak dikenai sanksi pidana, begitu pula menurut hukum islam dimana orangtuanyalah yang harus memberikan hukuman yang sifatnya mendidik
- zina yang dilakukan dengan keluarga sedarah (Incest) dalam hukum islam disebut sebagai zina maharim, didalam KUHP Mendatang diatur dalam pasal 488
- laki-aki dan perempuan yang hidup bersama seperti suami istri, islampun mengharamkan perbuatan ini karena hidup bersama dengan seorang yang bukan suami atau istrinya hukumnya haram.didalam konsep diatur dalam pasal 486

Saran
- Tidak adanya batasan usian anak yang jelas dalam pasal 485 Konsep KUHP akan dapat menimbulkan banyak penafsiran sehingga patut kiranya ketentuan dalam pasal ini untuk diperbaiki kembali dengan menyebutkan batasan usia anak yang jelas dan pasti dengan memperhatikan ketentuan ada dalam UU Perkawinan artinya bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun yang didasarkan pada syarat usia kepatutan untuk melakukan perkawinan.
- Ringanya sanksi pidana yang dijatuhkan dalam ketentuan pasal 486 Konsep KUHP dianggap tidak relevan , karena dilihat dari bobot perbuatan yang dilakukan dalam pasal ini lebih berat jika dibandingkan dengan ketentuan dalam pasal 484 Konsep KUHP, sehingga perlu diperbaharui kembali ketentuan dalam pasal ini dengan merubah ketentuan mengenai sanksi pidana yang diancamkan pada para pelakunya yaitu dengan ancaman pidana yang lebih berat dari pasal 484 Konsep KUHP
- Perlunya memperbaharui ketentuan mengenai Incest yang disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Islam bahwa yang disebut dengan incest adalah persetubuhan yang dilakukan dengan anggota keluarga sedarah sampai derajat kedua bukan derajat ketiga



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, S.H, Kedudukan hukum Adat dalam rangka Pembangunan Nasional, Alumni, 1978, Bandung
Adami Chazawi,S.H, Tindak Pidana mengenai Kesopanan ,Biro konsultasi dan bantuan hukum F.H-U.B, 2002, Malang
Arena Hukum edisi 12 tahun 4 November 200
Ashary abd Gofar, Pandangan Islam tentang Zinah dan Perkawinan sesudah hamil, andes Utama, 2000, Jakarta.
Badjebe Z Dkk, UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama dan komentar, Pustaka imani, Jakarta
Barda Nawawi arief, Kebijaakan Hukum Pidana ( penal policy), Diktat , Tanpa Tahun.
-----------------------------, Perkembangan delik kesusilaan dalam KUHP Baru , Makalah penataran hukum pidana dan kriminologi,1993,Semarang
-----------------------------, Kebijakan kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Konsep KUHP baru, Makalah penataran hukum pidana dan kriminologi,1993,Semarang
Bambang purnomo, Asas-asas hukum Pidana,Seksi Kepidanaan F.H. UGM,Yogyakarta
Direktorat Perundang-undangan, Rancngan KUHP,1999-2000.
Ensiklopedi Hukum Islam, Vol:4, Iktiar baru Van Hoeve, 1996, Jakarta
Franz Magnis Suseno, Etika politik, Gramedia, Jakarta, 1987
Jimly Assiddiqie, Pembaharuan hukum Pidana Indonesia , Angkasa, 1995, Bandung.
Leden Marpaung,S.H ,Kejahatan terhadap Kesusilaan, Sinar Grafika,Jakarta, 1996.
Made Sadhi astutik, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan anak, Ikip , Malang, Hal:6
Muhammad, A.C., kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Makalh Seminar Tentang KHI, 1995, Surabaya
Moeljatno, Perbuatan dan pertanggung jawaban dalam hukum pidana, YKM, malang
Muladi,Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Dalam KUHP Mendatang ,Makalah penataran nasional hukum pidana dan kriminologi, 1993, Semarang.
Muladi, Proyeksi Hukum pidana Materiil Indonesia dimasa mendatang, pidato pengukuhan guru Besar UNDIP, 1993, semarang
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004
R.Soesilo,Kitab Undang-undang Hukum Pidana,Politea,1994, Bogor..
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit UI, 1975, Jakarta.
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI Press), 1986, Jakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif,1986, Jakarta.
Sofyan hasan, Hukum Islam: Bekal Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum islam diIndonesia, Literata Jendela Ilmu, 2004, Jakarta
Soetandyo Wingjosoebroto, Hukum (Dinamika, Paradigma dan masalahnya), Elsam dan Huma, Cetakan Pertama, November 2002, Jakarta
Sudarto, Hukum Pidana dan Problem bagi masyarakat ( kajian terhadap hukum pidana ), sinar baru, 1982, Bandung.
---------- , Hukum dan hukum pidana ,Sinar Baru,1977, Bandung.
----------, Hukum Pidana Dan Perkembangan dalam Masyarakat, Sinar Baru,1983, Bandung.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, As-Syamil, 2000, Bandung.
Wirjono Prodjodikoro,Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresco, 1981,Jakarta-Bandung

PERANAN SOSIALISASI HUKUM DALAM PROSES KONTROL SOSIAL

PERANAN SOSIALISASI HUKUM
DALAM PROSES KONTROL SOSIAL

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum dan masyarakat keduanya seolah-olah merupakan pasangan yang tidak bisa terpisah, sebab berbicara tentang hukum pasti juga akan terkait dengan apa yang disebut masyarakat begitu sebaliknya karena hukum merupakan bagian dari proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hukum tidak bisa terlepas dari pengaruh timbal balik dengan keseluruhan aspek yang ada dalam masyarakat, itulah sebabnya dikatakan bahwa hukum itu tidaklah otonom,dari sini terlihat bahwa hukum merupakan suatu realitas dalam masyarakat sehingga hukum disini lebih bersifar relistis dan empirik, yang mana hal ini sejalan seperti apa yang telah dikemukakan oleh Prof.Dr.Satjipto Raharjo.S.H.,M.H. bahwa “ Saat ini hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang sifatnya otonom dan independen, melainkan difahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitannya dengan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat”,
Prof. Soetandyo mengatakan bahwa dimana kita bertemu dengan masyarakat manusia disitulah kita akan bertemu dengan sejumlah aturan karena tak ada masyarakat manusia dimanapun yang tak mengenal tata aturan/norma , dimana aturan tersebut diharapkan akan memberikan suatu keadilan, kedamaian, dan ketertiban bagi seluruh warga masyarakat tersebut. Maka untuk dapat mewujudkannya, hukum tidak akan bisa lepas dari tugas/fungsi yang diembankan pada hukum sebab untuk mencapai dan mewujudkan tujuan hukum maka hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu bergantung pada apa yang hendak dicapai
Untuk mencapai kehidupan yang aman ,tentram, tertib dan adil dalam masyarakat , maka hukum harus dapat difungsikan dengan baik salah satu fungsi hukum yang dapat dilakukan adalah fungsi hukum sebagai kontrol sosial (pengendalian sosial) yakni bahwa hukum berfungsi untuk mempertahankan dan menjaga suatu keadaan pada suatu masyarakat agar tetap berada dalam pola tingkah laku yang diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum sebagai sarana kontrol sosial diartikan sebagai suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku yang sesuai dengan harapan masyarakat yang dapat dijalankan dengan berbagai cara , hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Steven Vago bahwa “Sosial Control refers to the proceses and method used by members of a society or a group maintain social order by enforcing approved behavior” artinya bahwa sisial control lebih ditujukan pada proses-proses atau cara-cara/ mekanisme yang digunakan oleh masyarakat untuk menjamin penyesuaian dirinya terhadap norma-norna yang ada, dimana mekanisme tersebut disebut sebagai mekanisme social control.
Cara atau mekanisme yang dapat dilakukan dalam pengendalian sosial menurut J.S.Roucek ditegaskan bahwa mekanisme kontrol sosial adalah segala sesuatu yang yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan atau tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pengendalian sosial dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Persuasif yaitu tanpa paksaan, seperti mendidik, mengajak melalui proses sosialisasi. Cara ini lebih bersifat prefentif (pencegahan) terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian dalam masyarakat
b. Coercive yaitu dengan paksaan/ kekerasan, cara ini lebih bersifat represif yang berwujud seperti dengan penjatuhan sanksi pada warga yang melanggar/ menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku
Namun demikian penerapan cara-cara tersebut tergantung pada faktor terhadap siapa dan dalam keadaan bagaimana hal tersebut dapat diperlakukan. Misalnya bila cara kekerasan begitu saja diterapkan pada suatu masyarakat tanpa melihat keadaannya maka bisa saja cara tersebut malah akan menimbulkan dampak yang negatif dimana ketaatan/kepatuhan masyarakat timbul hanya karna adanya faktor dari luar (outer) bukan berasal dari lubuk hatinya (inner) dimana kepatuhan yang berasal dari outwer tidak akan berlangsung lama.
Alat-alat yang digunakan dalam pengendalian social beraneka ragam, yang dalam pembahasan makalah ini difokuskan pada hukum nya sebagai alat kontrol sosial ,dimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa hukum merupakan pedoman bagi manusia dalam bertingkahlaku/bergaul sehingga dengan pedoman-pedoman tersebut manusia dapat mengontrol/mengendalikan perbuatannya agar tidak menyimpang dari aturan yang berlaku. Dalam hal ini tentunya selain diperlukan adanya peranan masyarakat juga peran dari aparat penegak hukumnya.
Menurut Ronny H.S Bahwa sosial kontrol merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial dimana hukum sebagai alat kontrol sosial berfungsi unntuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap menyimpang dan sanksi serta tindakan apa yang dapat dilakukan oleh hukum terhadap penyimpangan tersebut hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Donald Black bahwa “ Social control is the normative aspect of social life “
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dengan adanya proses pengendalian sosial/ kontrol sosial adalah untuk mencapai keserasian didalam masyarakat dan dengan keserasian tersebut akan tercipta suatu keadaan yang damai, adil dan tertib
Hukum sebagai kaidah positif yang merupakan dasar pembenar bagi para penguasa ataupun aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi hukum sebagai cara untuk mengendalikan prilaku masyarakat (social control), tidak dapat dielakkan kaitan/hubungannya yang teramat erat dengan dengan proses sosialisasi, karena sosialisasi merupakan suatu proses untuk menjadikan insan-insan sosial menjadi sadar akan adanya kaidah-kaidah hukum sehingga akan tercipta insan yang sanggup dengan sepenuh hati (to obey) atau setidak-tidaknya dapat menyesuaikan prilakunya (to conform) dengan ketentuan-ketentuan kaidah yang berlaku.
Sosialisasi juga merupakan suatu cara/mekanisme dalam proses pengendalian social yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto diatas , sehingga dapat dikatakan bahwa sosialisasi ini perlu dilakukan untuk menunjang fungsi hukum sebagi social control karena agar hukum dapat mengendalikan pola tingkah laku manusia, untuk itu maka hendaknya manusia tersebut sadar terlebih dahulu akan betata pentingnya suatu aturan hukum yang kesadaran tersebut dapat ditumbuhkan melalui sosialisasi sehingga ia akan tau aturan apa yang harus ditaati dan sanksi apa yang akan ditemui jika aturan tersebut tidak dipatuhi.
Namun, tentunya suatu proses sosialisasi dalam fungsinya sebagi kontrol social tidak begitu saja berjalan mulus dan lancar, tetapi ada saja hal-hal yang menghambat pelaksanaan proses tersebut. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan mengetengahkan dan mengkaji permasalahan yang terkait dengan hal tersebut dalam kacamata sosiologi hukum.

B. PERMASALAHAN
Melihat keterkaitan yang begitu erat antara sosialisasi dengan proses kontrol social, menimbulkan beberapa permasalahan terkait diantaranya:
1. Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan sosialisasi hukum dalam proses kontrol social?
2. Bagaimanakah peranan sosialisasi hukum dalam proses kontrol sosial?

C. TUJUAN PENULISAN
Berangkat dari latar belakang dan permasalahan yang akan dibahas , maka makalah ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menghambat pelaksanaan sosialisasi hukum dalam proses kontrol social, sehingga dapat diketahui pula upaya apa yang bisa diberikan sebagai solusinya
2. Untuk mengetahui bagaiman peranan sosialisasi hukum yang terjadi dalam proses kontrol social











PEMBAHASAN

1. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan sosialisasi hukum dalam proses kontrol sosial
Sosialisasi merupakan salah satu aspek penting dalam proses kontrol sosial sebab untuk dapat mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, dibutuhkan suatu kesadaran yang timbul dalam diri seseorang untuk mentaati dan melaksanakan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, yang disebut dengan kesadaran hukum. Namun kesadaran hukum tersebut tentunya tidak begitu saja tumbuh dengan sendirinya pada diri seseorang, tetapi perlu adanya suatu proses yang tidak pendek untuk menumbuhkannya.
Kesadaran tersebut dapat ditumbuhkan melalui berbagai cara seperti pengkhabaran, pemberitahuan, pendidikan, maupun pengajaran. Melalui cara-cara tersebut diharapkan seseorang akan menjadi tau mengenai apa isi normatif yang terkandung didalam kaidah-kaidah hukum yang ada. Kemudian setelah seseorang tau akan kaidah hukumnya, maka ia akan berusaha berusaha menyesuaikan segala prilakunya dengan tuntutan kaidah hukum tersebut.
Selanjutnya proses tersebut biasanya akan berlanjut pada proses pembangkitan rasa patuh dan setia yang tidak hanya menanamkan pengetahuan baru (kognisi) saja tetapi dengan proses ini akan menggugah perasaan (afeksi) pada diri seseorang yang kan menumbuhkan dan membentuk sikap positif yakni rasa taat yang ikhlas terhadap kaidah hukum. Kesemua proses tersebut diataslah yang disebut sebagai proses sosialisasi.
Dari uraian tersebut terlihat betapa sosialisasi itu dapat memberikan dampak yang positif bagi bekerjanya hukum dengan efektif untuk dapat mengontrol dan mengendalikan pola tingkah laku masyarakat tanpa harus menggunakan sanksi ataupun kekerasan karena kesadaran dan kataatan yang ada pada diri seseorang bukan tumbuh atas dorongan dan kesadaran dirinya sendiri tetapi terdorong olah rasa takut saja terhadap sanksi/hukuman yang akan ia peroleh jika tidak mentaatinya dan ketaatan ini hanyalah ketaatan yang sifatnya sesaat dan tidak efektif.
Soetandyo Wingjosoebroto menegaskan bahwa ketaatan yang ada pada diri seseorang itu ada 2 macam yakni ketaatan yang bersifat obidiance yakni yang tumbuh dari kesadaran dirinya sendiri misalnya seperti dengan melakukan penyuluhan hukum atau yang disebut dengan sosialisasi hukum. Dan ketaatan yang bersifat complience yakni karena adanya faktor yang mempengaruhinya misalnya dengan adanya sanksi bagi bagi masyarakat yang melanggar aturan norma yang ada
Dalam proses sosialisasi ini tentunya mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, dimana hambatan tersebut juga akan mempengaruhi terhadap kerja hukum sebagai kontrol social karena didalam proses ini memerlukan dukungan-dukungan dalam pelaksanaannya seperti, bagaimana aparat penegak hukumnya, hukumnya itu sendiri juga masyarakat dan budayanya. Oleh karena itu untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan sosialisasi hukum dalam proses kontrol social, penulisan akan mengkaji dan membahasnya dengan berangkat dari konsep yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman yang dikenal dengan teori Legal System yang terdiri dari 3 komponen yakni :
a. Structure / Struktur
b. Substance / Substansi
c. Culture / Kultur
Dimana ketiga unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah karena antara ketiganya saling melengkapi, dimana ketiganya digambarkan oleh Friedman sebagai berikut :
“Struktur diibaratkan sebagai mesinnya, sedangkan substansi adalah merupakan apa yang dihasilkan dari mesin tersebut sedangkan kultur adalah apa dan siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta yang memutuskan bagaiman mesin tersebut digunakan “
sehingga dari situ terlihat betata terkaitnya hubungan antara ketiganya
a. Stuktur
Menurut friedman bahwa yang dimaksud dengan “The Structure is its skeletal frame work; it is the permanent shape, the institusional body of the system, the thoug, rigid bones that keep the process flowing within bounds..” jadi struktur adalah kerangka atau rangkanya , yang merupakan bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk atau batasan terhadap keseluruhan
Lebih tegasnya oleh Ali Aspandi dijelaskan bahwa struktur adalah aparat penegak hukum dilapangan .
Seperti yang telah dipaparkan dimuka mengenai apa dan siapa itu struktur, terkait dengan proses sosialisasi, aparat penegakhukum / struktur memegang peranan yang penting didalamnya karena aparat disini merupakan mediator dalam sosialisasi sehingga masyarakat menjadi tau dan faham akan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Misalnya dengan adanya peraturan mengenai penggunaan sabuk pengaman yang baru-baru ini disosialisasikan, tentunya masyarakat tidak akan tau apa manfaat dari penggunaannya dan kerugian yang didapat jika tidak menggunakannya, jika polisi sebagai aparat penegak hukum tidak mensosialisasikannya terlebih dahulu. Banyak cara sosialisasi yang dapat dilakukan seperti dengan seminar terbuka, pemberitaan dikoran dan televisi, selebaran selebaran ataupun pamflet yang dibagikan lengsung pada pengemudi kendaraan dijalan dan masih banyak lagicara-cara lainnya. Baru setelah proses tersebut berlanjut aparat dapat melakukan pengawasan langsung dilapangan untuk mengefektifkan peraturan tersebut. Yang tentunya harus ada kesungguhan dari para aparat untuk mensosialisasikan dan mengawasinya.dan tentunya hal ini membawa dampak pula bagi pelaksanaan hukum dalam mengendalikan masyarakat sehingga tercipta suasana yang tertib,damai dan adil.
Proses sosialisasi menjadi tersendat-sendat dalam pelaksanaannya bila tidak ada kemauan dan kesungguhan yang kuat dari para aparat penegak hukum sehingga kontrol sosial lewat proses inipun kurang membuahkan hasil yang baik. Selain itu moral/mental para aparat yang menjadi sorotan masyarakatpun turut andil karena dalam hal ini terdapat kecenderungan yang kuat pada masyarakat kita untuk selalu mengidentifikasikan hukum dengan aparat penegaknya. Apabila aparat penegak hukumnya buruk/ tidak disukai maka masyarakat menganggap bahwa hukumnyapun buruk sehingga buruk pula penerapannya sebaliknya jika aparat penegak hukumnya baik maka akan baik pula dampaknya.
Akibat nya jika hal demikian terus melekat pada keyakinan masyarakat maka proses kontrol sosial lewat sosialisasipun akan terhambat dan masyarakat tidak mau tau akan aturan tersebut atau timbul kepura-puraan rakyat untuk mentaati kaidah tersebut.
Bukan hanya itu saja yang menjadi hambatan dilihat dari struktur atau aparat penegaknya karena selain kurangnya kesungguhan dari aparat dan mentalitas/moral aparat yang diragukan ternyata para aparat sendiri selaku mediator dalam proses sosialosasi yang dianggap lebih tau akan materi/ hukum yang akan disosialisasikannya malah tidak begitu faham dan mengerti akan kaidah hukum itu sendiri. Inilah yang menjadi kelemahan pada diri aparat penegak kita sebab bagaimana masyarakat akan tau dan taat bila aparat penegaknya sendiri kurang memahaminya atau bahkan tidak mengetahui akan aturan/norma yang akan disosialisasikan. Maka dalam hal ini perlu diadakan breefing, atau pelatihan terhadap para aparat terlebih dahulu mengenai apa yang akan disosialisasikan pada masyarakat.
b. Substance / Substansi
Menurut friedman , “The Substance is Composed of substantive rules and rules about how institutions shoul be have” jadi yang dimaksud sunstansi adalah aturan , norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Dan dipertegas lagi bahwa substansi adalah produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam system hukum itu, seperti peraturan perundang-undangan.
Substansi merupakan materi yang disosialisasikan dalam proses sosialisasi dimana dari substansi tersebut seseorang akan tau, faham, mengerti dan melaksanakan apa-apa yang terkandung didalamnya, karena substansi ini dapat mempengaruhi bahkan membentuk struktur dan cultur yang baik
Berangkat dari pendapat yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa hukum akan ditati oleh masyarakat bila hukum tersebut sesuai dengan kehendak dan keinginan masyarakat. Namun sayangnya hal tersebut tidak kita lihat didalam isi/subtansi dari produk perundangan kita karena masyarakat menganggap hukum kita saat ini sarat dengan kepentingan-kepentingan pihak yang berkuasa saja dari pada untuk melindungi kepentingan rakyat yanghanya membebani rakyat dengan kewajiban-kewajiban saja dari pada menjamin hak-hak mereka, dimana hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Unger bahwa hukum itu sarat dengan kekuasaan dan dapat dimanipulatif .
Akibat dari anggapan tersebut wibawa hukum kita saat ini mengalami kemunduran dan masyarakat saat ini sudah tidak percaya lagi terhadap kekuatan hukum di Indonesia kemudian masyarakat cenderung ogah-ogahan untuk mentaatinya. Dan Dari asumsi tersebut pelaksanaan proses sosialisasi mengalami hambatan.

c. Legal Culture / Kultur
“Legal Culture refers, then to those parts of general culture-customs, opinions, way of doing an thinking that bend social forces to wardor away from the law and in particular ways” artinya menurut Friedman bahwa yang dimaksud dengan kultur hukum adalah sikap manusi terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai pikiran serta harapannya
kultur hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum berlaku yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, dimana nilai-nilai tersebut merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan akstrim yang harus diserasikan
terkait dengan proses sosialisasi, kultur disini terlihat pada budaya masyarakat yang memang enggan untuk mentaati hukum tersebut dimana mereka sudah terbiasa dengan keadaan yang sebelumnya sehingga masyarakat menganggap bahwa hukum itu hanya membebani rakyat saja toh tanpa adanya aturan tersebut saja masyarakat tetap merasa aman-aman saja. misalnya pada peraturan mengenai sabuk pengaman, banyak masyarakat yang masih enggan menggunakannya karena apa? Mereka sudah terbiasa dengan kebiasaan sebelumnya dengan tanpa sabuk pengaman dan nyatanya mereka aman-aman saja. hal inilah menghambat proses sosialisasi dalam masyarakaat karena walau masyarakat telah disosialisasikan dengan berbagai cara namun jika keyakinan mereka hal tersebut tidak begitu penting maka akan terhambatlah pelaksanaannya.

2. Bagaimanakah peranan sosialisasi hukum dalam proses kontrol sosial
Sebagaimana kita ketahui sosialisasi merupakan salah stu proses yang dilakukan dalam usaha untuk mengendalikan dan mengontrol tingkah laku masyarakat agar tetap berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Dalam sosialisasi akan berusaha ditumbuhkan kesadaran hukum pada diri seseorang sehingga ia akan menjadi tahu, faham, mangerti dan melaksanakan dengan ikhlas kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Proses sosialisasi sebenarnya sudah mulai terjadi ketika seseorang masih kecil, yang terjadi dalam lingkungan keluarga yang tentunya bukanlah produk perundang-undangan yang disosialisasikan dalam lingkungan keluarga, tetapi didalam keluarga tersebut diajarkan dan ditanamkan mengenai kaidah-kaidah yang dilazimkan oleh masyarakat setempat , cinta dan kasih sayang dengan sesama, rasa hormat, saling menghargai dan lain-lain yang kesemuanya itu demi untuk melancarkan pergaulan didalam keluarga dan masyarakat. Kemudian dari keluarga akan berlanjut pada lingkungan sekolah dan masyarakat luar pada umumnya.
Ketika seseorang sudah mulai tumbuh menjadi dewasa dan berumur, maka pada saat itulah mereka baru mulai dikenalkan dengan kaidah-kaidah hukum negara yang mereka tau melalui bangku sekolah, informasi melalui sarana komunikasi seperti televisi misalnya. Disinipun kaidah-kaidah hukum tersebut hanya dikomunikasikan pada taraf pengkhabaran dan pengetahuan saja dan jarang dididikkan secara intensif.
Sosialisasi yang digambarkan diatas yang dimulai dari lingkungan keluarga dan seterusnya tersebut merupakan pengertian sosialisasi dalam arti sempit saja dimana seseorang hanya menjadi tau saja akan kaidah-kaidah hukum yang berlaku tanpa adanya kesadarna hukum yang tumbuh pada diri seseorang.
Dalam proses sosialisasi pada hakekatnya merupakan proses learning dan dislearning . Pada tahapan learning seseorang belajar memahami norma-norma hukum yang berlaku. Sedangkan pada tahapan dislearning seseorang harus berusaha melupakan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak baik sekaligus menumbuhkan kesadaran hukum pada diri seseorang.
Dari tahapan-tahapan tersebut dapat terlihat bahwa melalui proses sosialisasi seseorang akan menjadi tahu isi normatif dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku yang dengan kesadaran itu kemudian seseorang akan berusaha menyesuaikan segala prilakunya dengan tuntutan-tuntutan kaidah tersebut yang akhirnya akan tumbuh kepatuhan dan ketaatan pada diri seseorang.
Dengan kata lain bahwa dengan proses sosialisasi dipercaya akan dapat mentransformasikan seseorang dari keadaan yang non sosial bahkan anti sosial menjadi makhluk yang sosial yang mau memperhatikan kepentingan orang lain.
Seperti telah dikemukakan diatas bahwa melalui proses sosialisasi akan ditumbuhkan kesadaran hukum pada diri seseorang yang dengan kesadaran itu akan memototifikasi seseorang untuk secara sukarela menyesuaikan segala prilakunya pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Upaya kesadaran merupakan upaya untuk mengembangkan mekanisme kontrol prilaku yang akan tumbuh serta bekerja dari dalam.
Penegakan hukum melalui usaha penanaman kesadaran akan cenderung mengarah pada mekanisme “control social” bersifat “skin in” /kesadarn hukum secara bathiniah, timbulnya kesadaran hukum secara bathiniah dipandang sangat penting guna penegakan hukum kedepan karena dalam jangka panjang hukum tidak akan mungkin tegak apabila hanya mengandalkan mekanisme kontrol sosial melalui keampuhan sanksi yang hanya bekerja dari luarnya saja / kesadaran lahiriah. Maka hendaknya hukum negara harus tetap ditegakkan melalui usaha dan peningkatan kesadarn hukum masyarakat, yang dapat dilakukan melalui proses sosialisasi.
Dari uraian diatas, jelas terlihat mengenai bagaimana hubungan yang sangat terkait antara proses sosialisasi dan kontrol sosial dengan demikian jelaslah pula bahwa sosialisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap proses kontrol sosial dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.


PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya:
a. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan sosialisasi dalam proses kontrol social yakni berangkat dari konsep yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman yang dikenal dengan teori Legal System yang terdiri dari 3 komponen diantaranya :
• Structure / Struktur
• Substance / Substansi
• Culture / Kultur
b. Sosialisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap proses sosialisasi karena dengan sosialisasi tersebut akan ditumbuhkan kesadran bathiniah seseorang akan kaidah hukum yang berlaku dan dengan kesadaran itu akan memototifikasi seseorang untuk secara sukarela menyesuaikan segala prilakunya pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kesadaran hukum tersebut mengarah pada mekanisme “control social” bersifat “skin in” yang berguna dalam upaya penegakan hukum di Indonesia

Daftar Pustaka

- Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian filosofis dan sosiologi), P.T. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002
- ---------------, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002,
- Ali Aspandi, Menggugat Sistem Hukum Peradilan Indonesia yang penuh ketidak pastian, LeKSHI, Surabaya
- Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, 1976, New York
- Satjipto Rahardjo , Hukum Dan Perubahan Sosial, Edisi Pertama, Alumni, Bandung, 1983
- Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan dinamika masalahnya, Elsan & Huma, Cetakan pertama, Jakarta
- Rachmad Budiono, Memahami Hukum, Fakultas-hukum Brawijaya, Malang, 1999
- Soerjono soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum, PT.Raja Grafindo persada, Jakarta, 2000
- ----------------------, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2002
- ----------------------, Pengantar Sosiologi, PT.Raja Grafindo persada, Jakarta, 2001