Selasa, 04 Agustus 2009

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA(Kajian terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)

Hukum acara pidana sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam proses peradilan lahir pada 23 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 31 desember 1981. saat itu masyarakat dan semua kalangan menyambutnya dengan suka cita karena KUHAP dianggap sebagai karya agung yang menjunjung tinggi dan menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perlindungan terhadap Harkat dan martabat manusia sebagaimana layaknya yang dimiliki oleh suatu negara yang berdasarkan atas hukum. tentunya dengan lahirnya KUHAP banyak sekali harapan yang timbul dari berbagai kalangan.

Setelah beberapa tahun dilaksanakan tentunya akan timbul pertanyaan mengenai praktek pelaksaan KUHAP dewasa ini, apakah penegakan hukum melalui system peradilan pidana sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku/ dan adakah jaminan perlindungan hukum terhadap setiap orang yang memasuki system peradilan pidana mulai dari kepolisian, kejaksaan , pengadilan maupun di lembaga pemasyarakatan?
Hak asasi manusia merupakan keinsyafan terhadap harga diri , harkat dan martabat kemanusiaan yang menjadi kodrat sejak manusia lahir dimujka bumi. Sejarah hak asasi manusia bersamaan dengan sejarah lahirnya manusia yang timbul dan tenggelam sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertainya
Siapa sebenarnya yang menetapkan bahwa manusia itu dilahirkan dengan martabat yang sama yakni bahwa manusia mamiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan hak-hak lain yang dikemukakan sebagai hak dasar manusia? Apakah oleh raja, penguasa atau pemerintah?, sudah barang tentu hak asasi manusia timbul bukan karena diberi oleh manusia yang lain tetapi hak dasar tersebut melekat pada manusia sebagai karunia dari penciptanya, oleh karena itu disebut sebagai hak asasi.

Negara indonesia sebagai negara hukum tidak ketinggalan dalam merumuskan hak asasi manusia kedalam peraturan perundang-undangannya, yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam konsideran, aturan umum dan penjelasan nya terutama mengenai ketentuan agar petugas menjalankan hukum sekaligus menjunjung hak asasi manusia .

KUHAP sebagai realisasi Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman merumuskan aturannya dengan bersandar pada hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana seperti hak dari tindakan penuntutan, pembelaan, pemeriksaan pengadilan maupun perlakuan terhadap tersangka/terdakwa
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali oleh karena sebagian besar dari rangkaian proses hukum acara pidana menjurus pada pembatasan-pembatasan hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan penggeledahan, penyitaan dan penghukuman, yang pada hakekatnya adalah pembatasan hak asasi manusia.
Proses peradilan pidana yang merupakan proses bekerjanya organisasi-organisasi seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan , menggunakan model penyelenggaran dan pengelolaan peradilan menurut system yang dikenal dengan approach system yaitu penanganan secara sistemik terhadap administrasi peradilan. Adapun mengenai hal pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing organisasi tersebut yakni dengan perisip differensial fungsional, hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari adanya tumpang tindih diantara organisasi-organisasi tersebut oleh karenanya dilakukanlah pembagian tugas dan wewenang yang jelas.

Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan empat komponen dalam system peradilan pidana yang mana antar komponen-komponen tersebut menjalin hubungan kerja sama yang disebut sebagai Intergrated criminan justice system. Keempat komponan tersebut diharapkan dapat mencapai suatu tujuan yakni:

- mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
- menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi , sehingga masyarakat merasa pias bahwa keadilan telah ditegakkan
- mengusahakan agar mereka yang melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

Dalam pengelolaan system peradilan pidana secara sistemik akan diselenggarakan secara terpadu, dimulai dari adanya kasus kejahatan yang terjadi baik yang dilaporkan dari masyarakat maupun yang diketahui sendiri oleh aparat yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan serangkaian tindakan terhadap tersangka seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan samapai dengan dibuatanya BAP/ berita acara pemeriksaan yang kemudian diserahkan kepada pihak kejaksaan sebagai penuntut umum dan kemudian BAP tersebut jika sudah lengkap diserahkan kepengadilan.untuk dilakukan pemeriksaan dan diputus oleh hakim dengan putusan bebas, atau putusan lepas atau putusan pidana.

Dalam proses yang disebutkan diatas , disatu pihak aparat penegak hukum oleh undang-undang diberi wewenang atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan tugasnya, namun dipihak lain hak-hak tersangka ataupun terdakwah harus pula diperhatikan, oleh karenanya undang-undang mengatur tentang tatacara yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan harkat dan martabat manusia. Beberapa asas yang terkandung dalam KUHAP dapat dijadikan indicator apakah pelaksanaan penegakan hukum sudah benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan serta bagaimanakah sikap tindak dari para aparat penegaknya. Maka terkait dengan hal tersebut , setidaknya didalam KUHAP terdapat lima pilar penting yang perlu dikaji yakni:
a. Perlakuan yang sama dihadapan hukum
Asas ini mengandung arti bahwa setiap orang yang berurusan dengan proses peradilan pidana memeliki hak untuk diperlakukan sama tanpa ada perbedaan, Kaya atau miskin, pria wanita, hitam putih, normal ataupun tidak normal dan lain sebagainya dan semua perbedaan tersebut tidak dapat mendasari perbedaan dalam hal hak asasi manusia.
KUHAP yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai karya agung yang mana isinya sarat dengan muatan hak asasi manusia, hanyalah berbentuk peraturan yang tak bernyawa yang keagungannya baru bisa dibuktikan dari bagaimana konkritnya penerapan pasal-pasal yang ada didalamnya, hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “hukum tidak saja terwujud dalam peraturan tetapi juga bagaimana prakteknya”. Namun seagung apapun suatu karya baik yang berbentuk undang-undang seperti misalnya KUHAP disadari atau tidak didalamnya tetap mengandung hal-hal yang bersifat diskriminatif bahkan sejak yang namanya keadilan ditata oleh yang namanya hukum maka saat itulah dimulailah diskriminasi, karena hukum mengejar suatu keumuman atau uniformitas sedangkan didalam masyarakat terdapat berbagai kesenjangan dan perbedaan .
Hukum tak terkecuali KUHAP didalam pasal-pasalnya memang tidak mengenal perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, tetapi dalam kenyataan social perbedaan derajat manusia selalu ada dan sedikit banyak ikut mempengaruhi praktek pelaksanaan hukum, tak terkecuali praktek pelaksaan KUHAP
Dalam praktek pelaksanaan KUHAP sering dijumpai perbedaan perlakuan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan , pemeriksaan disidang pengadilan maupun dilembaga pemasyarakatan. Sering terlihat bahwa orang yang memilki kekuasaan, uang dan kedudukan seolah-olah kebal terhadap hukum dan sering tidak terjaring oleh aturan hukum yang ada sedangkan masyarakat yang lemah kadangkala diperlakukan sewenang-wenang dan tidak pernah lepas dari jarring-jaring hukum yang ada dan sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang kaya dan mampu akan memperoleh perlakuan yang lebih baik oleh para aparat dibandingkan dengan mereka yang tidak mampu. dari uraian tersebut dapatlah ditarik benang merah bahwa bagaimanapun hukum itu selalu diskriminatif
b. Penangkapan dan penahanan
Pasal 9 deklarasi umum Hak asasi Manusia menentukan bahwa “tiada seorangpun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang secara sewenang-wenang”, ketentuan tersebut sejalan denngan ketentuan yang diatur dalam pasal 9 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa tiada seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan selain atas perintah tertulis atas kekuasaan yang sah dalam hal yang menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang, yang mana ketentuan tersebut dijabarkan kembali didalam KUHAP.
Penangkapan dan penahanan merupakan tugas polisi dengan harapan akan tercapai dan terpelihara suatu ketertiban.dalam kerangka hukum yang berlaku. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah dengan cara bagaimakah hal tersebut dicapai? Ternyata tugs dan pekerjaan polisi hanya dapat dilakukan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu, dan salah satu pembatasan tersebut adalah hukum., sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku yang man tindakan-tindakan yang dilakukan oleh polisi memiliki tujuan-tujuan social tersndiri yang tidak selalu sama dengan tujuan hukum.
Anatomi dari tujuan hukum itu akan memperlihatkan bahwa disamping mempunyai tujuan social, hukum juga memilki tujuan khas yaitu sebagaimana yang tertera secara positif dalam peraturannya. Oleh karenanya sering menjadi dilemma bagi polisi dalam melakukan suatu tindakan, disatu pihak polisi harus menjaga ketertiban namun dipihak lain polisi juga harus melakukan tindakan itu dalam kerangka hukum yang berlaku.
Hukum merupakan lambang dari kepastian sedangkan ketertiban tidak memperhatikan apakah hukum sudah dijalankan atau belum. Dalam suasana hukum darurat ketertiban bisa dipertahankan tetapi jelas pada saat itu banyak peraturan hukum yang dikesampingkan sehingga hal ini mengabaikan tuntutan kepastian hukum . sebagai contoh misalnya tindakan penangkapan dan penahanan yang hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis dari pejabat yang berwenang oleh UU dan dengan cara yang diatur oleh UU . dalam prakteknya terutama terhadap kasus tertentu yang sangat membutuhkan ketertiban, melaksanakan ketentuan UU yang demikian itu sangat sulit bagi polisi. Disinilah dilemma yang harus dihadapi oleh polisi yaitu mencari titik-titik pilihan antara hukum dan ketertiban, pada saat polisi harus ,menentukan pilihan yang demikian itu, kita akan berhadapan dengan masalah diskresi yang dilakukan oleh polisi. Yang pada hakekatnya bertentangan dengan prinsip negara yang didasarkan pada hukum .
c. Asas praduga tak bersalah
Pada prinsipnya bahwa asas ini menekankan bahwa setiap orang berhak dianggap tidak bersalah sebelum seseorang tersebut terbukti secara syah dan meyakinkan atas kesalahan yang dilakukan yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Konsekuensi logis dari asas ini adalah seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana, wajib mendapatkan perlindungan hukum berupa perlakuan yang sesuai dengan ketentuan UU. Namun dalam prakteknya hal tersebut sering sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh aparat penegak hukum karena sering sekali terjadi dalam penyidikan oleh aparat terhadap tersangka dilakukan dengan disertai ancaman, tekanan, paksaan bahkan tidak jarang dengan penganiayaan dimana seolah-olah sitersangka sudah benar-benar terbukti melakukan perbuatn pidana yang dituduhkan, padahal dalam hal ini belum ada p[utusan dari hakim yang telah final.
d. Hak memperoleh bantuan hukum
Terdapat beberapa alasan mengapa bantuan hukum ini perlu diberikan pada tersangka dan terdakwah yakni:
Alasan pertama bahwa kedudukan tersangka dan terdakwa tidak seimbang dengan kedudukan aparat
Alasan kedua bahwa tidak semua orang mengetahui apalagi memahami seluk beluk aturan hukum yang rumit
Alasan ketiga yakni faktor kejiwaan dan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi dalam hal memperjuangkan hak-haknya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Alasan keempat bahwa hakim yang memberikan putusan adalah manusia biasa demikian pula polisi maupun jaksa sehingga dalam hal ini penasehat hukum diperlukan sebagai pihak pengontrol .
Secara sosiologis peranan penasehat hukum disamping sebagai penjaga atau pengawal kekuasaan pengadilan juga berperan sebagai seseorang yang dimintai bantuan.
Penasehat hukum dalam peranannya adalah dalam posisi berhadapan dengan pengadilan dan memiliki kedudukan yang otonom dan tidak tergantung serta bertujuan untuk mempertahankan hak –hak klien.
Berdasarkan keempat alasan tersebut diatas dapat disimpulakan bahwa keberadaan penasehat hukum untuk mendampingi tesangka dan terdakwah sangat dibutuhkan, namun dalam prakteknya hak tersebut sering dilanggar , penassehat hukum yang dibolehkan mendampingi tersangka pada tahap penyidikan pada kenyataannya tidak pernah terhjadi hal ini karena UU sendiri tidak pernah mengatur secara lebih lanjut apakah penyidik dalam melakukan penyidikan harus memberitahukan penasehat hukum
e. Hak meenuntut gantirugi dan rehabilitasi
Adanya asas ini mempertegas apa yang dicantumkan dalam pertimbangan UU No. 8 tahun 1981 bahwa “ negara republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila dan UUD 1945 .. dan bahwa pembangunan nasional dibidang hukum acara pidana adalah untuk meningkatkan pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum dan keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Hak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi ini sebenarnya mengandung 2 asas yakni hak warga negara untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi serta kewajiban pejabat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan prilakubya selama proses pre-ajudikasi. Dalam kedua asas juga terkandung suatu prinsip bahwa negara dapat pula dimintai pertanggungjawaban atas sgala tindakan yang dilakukan terhadap warga negaranya
Kemungkinan untuk menuntut ganti rugi dalam proses pidana meliputi 3 hal yaitu :
a.Ganti kerugian karena penangkapan atau penahanan atau penuntutan yang tidak syah
b.Ganti kerugian setelah herziening
c.Ganti kerugian oleh korban pelanggaran hukum yang bukan oleh negara
Didalam KUHAP ketiga jenis ganti kerugian diatas telah tercantum akan tetapi tidak diatur lebih lanjut menganai bagaimana dan sejauh mana tuntutan ganti kerugian dapat dikabulkan kecuali pada jenis ganti kerugian pada butir c yang hal ini diatur dalam pasal 98-101 KUHAP tentang penggabungan perkara ganti kerugian , apakah permasalahan ini telah terlupakan oleh pembuat KUHAP atau sengaja dilupakan atau memang sengaja untuk memberikan kebebasan kepada kebijaksanaan hakim, itu semua masih kurang jelas.sehingga dalam hal inilah sering sekali terjadi pelanggaran terhadap hak asasi seseorang .
Kesimpulan
Penegakan hukum melalui system peradilan pidana di Indonesia , masih perlu pembenahan identitas.Penegakan hukum yang terkandung didalam KUHAP yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia ternyata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh para aparat penegak hukum kita. Disatu pihak aparat penegak hukum diberi wewenang dan kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu menurut hukum , namun kekuasaan dan wewenang itu sering disalahgunakan. Akibatnya pengadilan kita sering dijadikan sebagai benteng keropos bukannya benteng terahir bagi para pencari keadilan.
Perlakuan yang sama terhadap seseorang dimuka hukum dalam praktek tidak dapat dipenuhi sepenuhnya. Masih adanya perbedaan perlakuan antara pencari keadilan yang satu dengan yang lainnya karena adanya perbedaan kedudukan social, ekonomi dan politik yang melekat pada orang tersebut. Demikian juga masalah penangkapan dan penahanan yang tidak disertai surat perintah yang sesungguhnya dapat berakibat pada penangkapan dan penahanan yang tidak sah . dan mengenai asas praduga tak bersalah nyatanya dalam praktek masih sering terjadinya adanya penyimpangan oleh oknum aparat penyidik.


DAFTAR PUSTAKA

Bambang poernomo, Pokok-pokok Tata cara Peradilan Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986.
Djoko Prakoso, Kedudukan Justiciable didalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta 1994
Satjipto Rahardjo, Hukum Masyarakat dan pembangunan , Alumni, Bandung, 1976.
-------------------, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru ,Bandung
------------------, Simposium Penegakan Hukum , bina Cipta Jakarta, 1982.

0 komentar :

Posting Komentar